Minggu, 30 November 2008

Seperti pelangi yang hadir tanpa diawali hujan
Oleh: 'yang sedang menanti'

Untuk Asma di kota yang berkeringat?
Hujan di kota ini terus saja turun, Ma. Barangkali kau masih ingat kapan pertama kali kita berjumpa. Kau tentu ingat wajahku yang masih polos dulu. Saat itu pun hujan turun. Masihkah terbayang ekspresi wajahku ketika pertama aku jabat tanganmu erat-erat? Kita hanya sejenak saling pandang.
Dua tahun bukan waktu yang sebentar, bukan. Kau ingat? Janjimu kala itu terus saja membias luka hingga sekarang. Berhari-hari ku jalani hidup di sini dengan harapan kau kembali di sisi.Begitu banyak orang-orang yang hadir di kehidupanku. Berganti-ganti pula anganku tentangmu hadir di setiap jejak langkah yang aku lalui. Masih saja tentangmu, Ma. Kau tahu kenapa?
Kau tentu ingat ketika ku temui kau saat kepulanganmu yang kedua. Aku sudah sedikit dewasa. Aku tatap wajahmu lekat-lekat. Aku jabat tanganmu lebih erat. Aku bayangkan kau hadir sebagai malaikat. Aku seperti orang yang jatuh cinta saja rasanya. Sayang, kau tak jua mengerti kenapa aku masih menyimpan kenangan-kenanganmu..
Tahun kedua. Aku hubungi lagi nomor telfonmu yang aku simpan di ponselku. Ada balasan, tapi dari seorang wanita. Disuruhnya aku meninggalkan pesan. Aku tanyai siapa dia, dia jawab “tolong tinggalkan pesan seperlunya, nanti aku sampaikan pada Asma secepatnya”. Dia bilang lagi, “Aku kekasih Asma, kalau kau masih mencarinya, nanti aku sampaikan pada dia, dan aku tanyakan pula siapa kau sebenarnya. Jika perlu, aku yang akan mengalah untuk ini”.
Kenapa kau membuat scenario yang rumit seperti ini, Ma? Rasanya tak adil ketika aku yang harus melakoninya. Peran ini memang sulit untuk aku mainkan. Aku berada di bawah pelangi yang turun tanpa diawali hujan. Datang begitu saja. Dan hilang entah kapan.
Tahun keberapa aku lupa untuk menghitungnya. Kau hubungi aku dengar nomor baru. Kau bilang, “Maafkan aku, aku tak sempat menghubungi kawan-kawanku untuk beberapa waktu”. Aku Cuma balas, “Selamat ulang tahun ke 21, hanya itu. Aku tak berani ungkap apa-apa setelahnya.
Asma, kenapa pula kau datang dan hilang tanpa rencana? Bukankah kau tahu, melupakanmu adalah hal yang mustahil buatku. Meski hari berganti, dan berpuluh orang mengisi kehidupanku.
Tahun terakhir ingatanku tentangmu,kita tak jua saling bertemu.
Lebaran tahun ini sepertinya aku tak lagi sendiri. Malaikat itu datang menawarkan hatinya untukku. Mencari celahku, dan mencoba menggantikan posisimu kala itu. Tapi, tiba-tiba kau datang lagi, Ma. Kau ajak aku bertemu. Kau tahu, betapa aku takut bercampur haru.
Kau tentu ingat pertemuan setelah sekian waktu yang tak bisa ku hitung lagi jumlahnya. Masih sama. Hujan masih saja mengganggu kita, Ma. Hingga kita sulit mencari tempat untuk berteduh. Hujan memang tidak pernah pengertian kepada kita. Kenapa pula ia datang ketika ia tahu kita hanya mempunyai waktu yang tak seberapa.
Hari berlalu. Ku maafkan salahmu. Ku berikan sisa-sisa rasa yang dulu untuk kau miliki. Kenapa aku tinggalkan dia? Kau tentu telah tahu jawabannya. Aku memilih bersamamu? Tentu kau pula yang bisa merasakannya.
Bulan November. Hujan mulai turun, tapi tak terjadwal. kau hubungi aku lagi. Kau minta aku datang ke kotamu. Katamu. “Wisudaku besok, akan lebih bermakna ketika kau ada di sana”. Aku kau minta datang sedinirian. Ku tanya, apakah aku boleh bawa teman? Katamu, “jangan, nanti temanmu yang kasihan, bapak ibuku dan semua keluargaku akan datang ke sana. Kau akan ku kenalkan pada semua. Agar mereka tahu, aku sudah dapat seseorang yang nanti bisa menungguku sampai waktu yang tak terhingga”.
Ma, kenapa pula kau selalu memberiku sebuah harapan? Padahal kau tahu, aku paling tidak suka dengan harapan yang pupus di tengah jalan. Aku penuhi permintaanmu, meski dengan sedikit berat hati dan takut. Aku tinggalkan banyak janji yang telah aku buat dengan kawan-kawanku. Banyak yang tak berterima, kenapa pula aku masih saja menerima maafmu dan percaya pada kata-kata yang kau buat.
Tanggal 16 November, ma. Aku penuhi janjiku. Aku beranikan diri untuk tidak takut menghadapi scenario baru yang kau buat. Aku perankan tokoh yang mungkin sama dengan peranku dulu, tapi berbeda seting waktu dan suasananya. Kau memang sedikit berubah,Ma. Kau tampak dewasa dalam beberapa hal. Termasuk dalam membuatku tak takut denganmu, ada rasa nyaman ketika berada di dekatmu.
Hujan turun perlahan, tapi kemudian berhenti ketika ia tahu kita hanya bersama untuk waktu yang tak seberapa. Kau bilang, “malam ini hujan pengertian pada kita.” Ada rasa nyaman ketika bersamamu, Ma. Kau tampak dewasa dan bijaksana. Barangkali waktu yang mengajarimu seperti itu.. Andai saja, Ma. Andai saja, aku dan kau dapat memutar waktu kembali seperti dulu, tentu kita akan banyak belajar tentang banyak hal.
Malam semakin merambat. Kotamu yang berkeringat ternyata ikut menyelimuti keheningan. Kau ingat, Ma. Bersamamu berdua saja cukup membuatku takut. Tapi, bersamamu ada rasa nyaman. Kau bilang “tidurlah di sini, tak ada apa-apa. Nanti aku temani.”
Malam semakin merambat naik. Malam ini pula kau jadi tahu, kalau aku sangat menyukai sosok Soe Hok Gie. Iya, Ma. Aku amat mengagumi sosok Soe. Mahasiswa yang dulu bergelut dengan dunia politik dan pecinta alam itu amat cerdas dan menguasai keadaan negara. Ia amat idealis. Aku tertarik dengan pemikiran-pemikirannya. Tapi aku sendiri sebenarnya juga takut dengan sebuah idealisme, Ma. Kadang idealisme itu justru yang akan membunuh kita. Sayangnya malam itu kita tak sempat memperbincangkan arti sebuah idealisme dalam diri seseorang. Kenapa kita tidak diciptakan untuk menjadi lebih dekat dalam berpikir,Ma. Hingga apa yang yang terpikir olehku dan olehmu terkadang berbeda sekali arahnya. Kita tidak saling sejalan, kau ke utara aku ke selatan. Begitu tampaknya. Tapi aku hargai itu, Ma. Aku sadar, perbedaan memang harus ada. Dan itulah yang membuat sebuah kesempurnaan.
Tontonan selesai. Kita beranjak tidur. Kau rebahkan badanmu di atas tikar tanpa kasur. Terlihat nyaman. Aku rebahkan pula tubuhku di sampingmu. Lebih nyaman lagi ketika ku dengar desah nafasmu di sampingku. Aku seperti bermimpi saja ketika berada di sampingmu. Tiga tahun, Ma. Aku kau hantui dengan perasaan yang tak menentu. Dan kini hadirlah kau di dekatku, dalam jarak yang begitu dekat dan erat. Aku pasang telingaku lebar-lebar, berharap suatu saat kau mengigau atau tak tersadar ketika tidur. Tapi ternyata tidak, kau rebah begitu nyaman. Sebenarnya ingin ku habiskan malam itu untuk memandang seluruh wajahmu ketika tidur. Hanya untuk itu. Karena dengan begitu aku akan lebih bisa memaknai pertemuan kita yang tak lama ini. Karena aku hanya bisa mengabadikan kenangan lewat memori di hati, karena aku lebih suka menyimpan fotomu dalam pikiran dan bayanganku.
Pagi beranjak. Kau mulai bersiap untuk diwisuda pagi ini. Ada yang istimewa di hari itu,Ma. aku bisa mengenal saudara dan orang tuamu. Yang selalu ku ingat saat itu, ayahmu. Ia begitu bijaksana, ia begitu dewasa. Aku ingin kau sebijaksana dia nanti. Ada yang membuatku sakit hati, Ma. teman wanita yang kau perkenalkan padaku itu siapa? kenapa perasaanku tak enak ketika aku melihat kau dengannya. Aku benci dia, Ma. bukankah sudah kau bilang dulu, hanya akulah yang akan kau perkenalkan pada orang tuamu. Tapi ternyata dugaanku salah, Ma. aku benci saat itu. syukurlah aku bisa menjaga emosi kala itu.
Sore merambat. Sehari bersamamu tak terasa,Ma. Saat aku pamit pulang, sebenarnya ada tetes air mata yang mengalir. Tapi kau tak melihatnya. Hingga saat ku cium tanganmu, aku simpan air mata itu dalam-dalam. Adakah peristiwa yang lebih berharga setelah ini, pikirku.
Aku pulang dengan membawa perasaan yang mengharu biru, kau tahu, Ma. aku tak kuasa membendung air mata ketika ku tunaikan shalat lima waktuku. Aku tak mengerti misteri apa yang akan tuhan beri setelah peristiwa itu. Aku tangisi kisah ini. Ada permintaan yang tuhan kabulkan untukmu. Bertemu denganmu merupakan satu anugerah yang tak ternilai harganya. Apalagi hingga peristiwa itu terjadi.
Hatiku tak henti-hentinya bercerita dan berpikir apakah semua ini nyata? Hingga setelah pertemuan hari itu aku tak pernah mendengar lagi suaramu. Tak ku dengar lagi desah nafasmu. Kita kembali terpisah jarak dan waktu.
November. Desember. Januari. Februari. Maret. Hingga hampir April ini sudah berapa air mata yang aku tumpahkan karenamu, Ma? sudah terlalu banyak. Bahkan aku tak berani menghitungnya, apalagi yang harus aku ceritakan, ma? aku bercerita tentang kekecewaanku kepadamu sekarang justru akan membuat luka ini lebih melebar lagi. Aku tak berani lagi mengingat-ingat janjimu padaku tempo hari. Katamu, kita akan kembali lagi seperti dulu. Aku tak kuasa lagi mengingatnya. Tapi apalah dayaku, Ma. aku hanya perempuan biasa. Bisaku hanya menunggu dan menunggu. Yang pasti maafku tak kan habis jika ku berikan untukmu. Rasaku tak kan hilang meski ditelan waktu.
Waktu selalu berputar, Ma. Telah aku musnahkan kenangan yang sempat aku abadikan dalam sebuah bingkai kecil Telah ku ganti namamu dengan nama terburuk dalam ponselku, bahkan sempat aku hapus untuk beberapa waktu. Tapi kenapa selalu ada keinginan untuk berpulang padamu,Ma?
Aku tidak ingin mengiba, tapi kisah ini terlalu menyedihkan buatku. Bukan kuat yang aku dapat, tapi sebuah perasaan putus asa ketika aku membuka kembali kisah kita.
Waktu bergulir. Hanya ada penantian. Hanya ada harapan. Tangisan. Rintihan. Bahkan tawa, masih saja ada bayangmu di sana. Aku ingin bangun dan memulai kisah baru. tapi aku tak jua berani, Ma. Ingin aku kubur dalam-dalam semua kenangan, tapi aku tak jua mampu. Aku caci dirimu dengan perkataan yang amat menyakitkan, tapi itu tak jua bisa membuatku benci kepadamu. Aku ulangi lagi kenangan yang pernah terukir beberapa waktu lalu, tapi kenapa justru tangisku yang terpecah? Rasanya tak ada lagi ruang untuk bersembunyi darimu. Aku ini orang yang bodoh ya, Ma? aku bodoh karena tidak pandai mencari kesempatan lain dan mencari penggantimu. Bukan karena aku tak mau ma! tapi karena aku sendiri tak mampu. Aku benci ketika harus memulai kisah baru. jadi maaf, ma. jika sekarang ini aku masih saja berharap.
“Apakah engkau masih akan berkata
Ku dengar detak jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta”

Selesai
22 maret 2008
WIRLEY DAN MIJENI
Oleh:Dwiha

Komputer masih menyala. Tulisan di dalam layarnya juga belum dirampungkan. Wirley sudah terpekur di kursinya. Lelap karena lelah yang luar biasa. Ia tertidur dengan posisi duduk yang bisa membuat tubuh pegel-pegel ketika menyadarinya. Raut muka Wirley tampak tegang tapi matanya sudah terkatup rapat. Tubuhnya tidak bergerak sama sekali. Ia seperti berubah menjadi patung.
Sementara istrinya hanya termangu di depan pintu kamar tidur. Terharu menyaksikan suaminya yang giat bekerja sampai larut. Istri-istri selain dia tentu akan mengeluh kurang perhatian atau justru cemburu pada pekerjaan suami yang sebenarnya adalah sumber nafkah bagi dirinya sendiri. Berbeda dengan Mijeni, istri Wirley, ia seorang jawa tulen yang masih memiliki sikap narimo ing pandum ( menerima dengan ikhlas apa yang ia dapatkan ). Wirley yang perantauan itu seringkali merasa bangga dengan sikap narimo istrinya. Mijeni tak pernah mengeluh atau bahkan menuntut tentang uang belanja harian yang tak mencukupi, tentang pekerjaan Wirley yang belum mapan, juga tentang kesepian tak berujung karena malam-malam Wirley yang berakhir di meja komputer. Namun, seringkali pula ia merasa kecut dan kerdil di hadapan istrinya. Wirley menyadari bahwa dirinya tak becus menjadi kepala rumah tangga, perekonomian keluarga yang belum membaik, juga sikap lemah lembut Mijeni yang tahan pada penderitaan. Kadang Wirley merasa kasihan pada istrinya itu, kadang ia merasa beruntung memperistri Mijeni, kadang ia juga menyumpah mengapa Mijeni begitu bodoh bersedia bersuamikan dia.
Mijeni tak berani mengganggu suaminya meskipun hanya untuk membangunkan dan mengajaknya pindah ke kamar tidur. Akhirnya perempuan itu mengambil selimut dan menyelimuti tubuh suaminya yang terpaku di kursi meja kerjanya. Suaminya, Wirley, adalah tukang ketik sebuah rental komputer milik seorang teman. Honor yang ia terima tidak tentu dan itu masih harus dikurangi anggaran sewa komputer tiap bulan. Kadang-kadang Wirley menulis puisi, cerpen, atau opini untuk surat kabar, tapi tentu saja Mijeni menyadari sepenuh hati bahwa surat kabar-surat kabar itu belum tentu memuat tulisan suaminya. Lagipula ia tahu betul perwatakan suaminya. Wirley tahu apa yang benar, namun ia tidak begitu yakin apa yang dianggapnya benar adalah kebenaran. Itulah mengapa Wirley tidak lihai di media.
Mijeni tidur sendirian di dalam kamar setelah mematikan komputer. Ia membiarkan pintu kamar terbuka sehingga suaminya bisa masuk kapan saja seandainya tiba-tiba terbangun. Beberapa waktu lamanya mata Mijeni belum juga bisa terpejam. Pikirannya melayang pada lumbung beras yang kian menipis isinya. Beras melangit harganya. Mijeni tak pernah bisa mengerti tapi selalu bisa memaklumi tentang harga beras. Wirley suaminya pernah menjelaskan perihal hasil diskusinya dengan beberapa kawan tentang beras, tetapi Mijeni tetap tak bisa memahaminya.
Dari diskusi itu Wirley menjelaskan padanya bahwa beras saat ini bukan lagi lambang pangan dan kemakmuran tetapi sudah bergeser menjadi lambang politik dan kekuasaan. Beras adalah politik. Rakyat didoktrin sedemikian rupa dengan idealisme makan nasi, bahwa nasi adalah makanan pokok yang apabila tidak makan nasi perut tak akan bisa kenyang meskipun telah makan sekarung ketela ataupun segepok roti. Beras menjadi dewa dan uang lah panglimanya. Uang bisa dipakai untuk membeli beras, beras adalah dewa, dan dewa adalah kekuasaan.
Awal tahun ini harga beras melambung tinggi. Stock beras dikhawatirkan tidak mencukupi. Pemerintah mengimpor beras dari Vietnam. Padahal berita di radio menyebutkan bahwa Departemen Pertanian memberi laporan produksi beras surplus sekian ton. Lalu mengapa harus impor beras? Mengapa harga beras begitu tinggi? Mengapa pula harus makan beras?
Mijeni tak mampu memecahkan teka-teki serumit itu. Ia hanya tahu suaminya mudah merasa lapar dan ia harus menyiapkan makanan. Ia sendiri selalu makan dengan porsi yang sedikit. Mijeni membawa perkara itu ke dalam tidurnya. Ia bermimpi menjelma Dewi Sri yang menangis menyaksikan para petani padi tidak makan nasi dari beras hasil jerih payahnya. Daripada beras dibikin nasi mending dijual buat beli pupuk. Petani menerima dengan ikhlas makan umbi agar pemerintah tidak khawatir cadangan makanan pokok habis, atau agar produksi beras surplus dan bisa diekspor.
“ Mijeni!!!”
Mijeni terbangun oleh teriakan Wirley dari luar kamar. Tergesa-gesa ia menghampiri suaminya.
“ Siapa yang mematikan komputer?”tanya Wirley.
“ Aku mencabut stop kontaknya.” Mijeni menjawab gugup.
“ Tulisan di dalamnya berharga ratusan ribu, aku belum menyimpannya, dan kau mematikan komputernya.” Wirley geram. Mijeni sangat merasa bersalah seakan-akan ia telah menghilangkan harta benda suaminya.
“ Maafkan aku!” Mijeni mengiba.
“ Maaf ? Otakku terbatas dan kau seenaknya minta maaf ? Naskah itu seharga ratusan ribu.” Wirley putus asa, “ Ini salahmu!”tuduhnya, “ Aku tak bisa menggajimu seminggu ini.” Lanjutnya
Mijeni diam seribu bahasa. Ia teringat lumbung berasnya yang menipis dan suaminya yang doyan makan. Muncul berbagai pertanyaan dan ketakutan. Bagaimana ia akan mendapatkan beras? Bagaimana kalau suaminya itu kelaparan? Beras sama sekali bukan masalahnya karena perutnya yang tipis itu bisa kenyang dengan sepotong roti seharga lima ratus rupiah. Beras adalah masalah suaminya. Bagaimana suaminya bisa bertahan hidup tanpa beras?
Setelah beberapa hari lumbung beras Mijeni benar-benar kosong. Wirley tak mau tahu dan terus menerus menyiksa perasaan Mijeni dengan rasa laparnya. Cacing-cacing dalam perut Wirley sudah pada demonstrasi sehingga membuat perutnya perih melilit. Sekali lagi Mijeni terharu oleh ketidakberdayaan suaminya melawan nafsu makannya sendiri.
Mijeni lantas memberanikan diri untuk ngutang beras di toko Babah Liong. Babah Liong marah-marah dan tidak mengizinkan. Mijeni pulang ke rumah dengan rasa kecewa dan rasa bersalah yang berlipat-lipat. Ketika melihat wajah tak berdaya suaminya, terbersit keinginannya untuk mencuri beras saat Babah Liong tidak ada di toko. Maka terjadilah, pada waktu Babah Liong meninggalkan toko, hanya ada seorang penjaga, suasana sudah sepi, Mijeni bermaksud melaksanakan niatannya.
Mijeni mengendap-endap menuju gudang beras. Namun Mijeni bukan pencuri, jadi ia tak pandai mencuri. Ia ketakutan dan gugup. Tangannya gemetar saat menyentuh plastik-plastik beras Babah Liong. Mijeni kurang cekatan, beberapa kantong plastik beras terjatuh dan beras berceceran. Penjaga toko yang seorang itu memergoki, kontan Mijeni lari terbirit-birit. Penjaga toko berteriak kesetanan,
“ Maling…maling !!!”
Penjaga toko lari mengejar. Teriakannya membuat orang-orang di sekitar toko ikut mengejar. Sambil terus berlari seseorang bertanya pada penjaga toko,
“ Maling itu mencuri apa?”
“ Beras! Tadi ia di gudang beras.” Jawab penjaga toko.
“ Tapi dia tidak membawa apa-apa.” Seseorang berkata lagi.
“ Ia tetap harus ditangkap untuk mengetahui motifnya berada di gudang beras, mungkin saja ia menaruh bom.” Penjaga toko berprasangka.
“ Kau yakin ia membawa bom?”
“ Tentu!”
“ Kau benar-benar yakin?” desak seseorang itu.
“ Bukankah segala hal mungkin.” ragu-ragu penjaga toko menjawab. Belum sempat seseorang itu bertanya lagi, terdengar letupan dari gudang beras Babah Liong. Gudang beras itu terbakar. Secepat kilat seseorang itu mengeluarkan pistol dari balik bajunya, berlari lebih cepat meninggalkan orang-orang dan penjaga toko yang ternyata bisa tertinggal jauh oleh Mijeni. Seseorang itu mengarahkan moncong pistol pada Mijeni.
Secara mengejutkan Mijeni merasai benda asing menembus bahunya meskipun ia sadar bahwa dengan cara apapun maut telah menjemput. Wajah Wirley melintas-lintas dalam pikirannya. Wirley yang kelaparan, Wirley yang tak berdaya, Wirley yang menyedihkan, Wirley yang malang, Wirley yang tersayang. Pandangan matanya yang kian buram kini menjadi benar-benar gelap. Mijeni roboh bersimbah darah.
Keesokan paginya Wirley membaca koran setempat yang memberitakan bahwa seorang perempuan berinisial Mj yang diduga kuat terkait jaringan teroris tewas ditembak polisi setelah meledakkan gudang beras Babah Liong. Kerugian yang diderita Babah Liong diperkirakan mencapai sekian ratus juta dan ditutup oleh pihak asuransi. Ia bergegas pulang ke rumah dari tempat rentalan untuk minum kopi dan menceritakan peristiwa tersebut pada Mijeni.
Selesai,31 Januari 2006
I LOVE YOU, CLAIRE!
Oleh : Dwiha

“Jika sekarang sebagian belahan dunia sedang berperang, mungkin sekali leluhur manusia dulu juga berperang. Manusia di planet bumi ini bermilyar jumlahnya terbagi dalam berbagai suku, ras, etnis dan agama yang berbeda-beda. Namun masih tetap terus tumbuh dan berbiak. Mungkin sekali leluhur manusia dulu juga saling berjabat tangan, saling mengasihi dan akhirnya beranak pinak. Ada yang punah dan ada yang bertahan hidup. Kita berasal dari orang tua yang jamak, leluhur yang jamak. Namun siapa leluhur dari leluhur kita? Tidakkah ia satu, lantas menyempal iganya, dan Tuhan memberinya hidup sehingga jadi Hawa? Adam dan Hawa beranak pinak sehingga dalam rentang jutaan tahun sampailah pada bentuk manusia modern, seperti kita ini, generasi kita. Jika setiap manusia di bumi ini dianugerahi ingatan terhadap masalalu dan leluhur yang satu, maka tak akan ada perang di dunia. Ya, no war in the world! Sebab kita semua adalah saudara.”
Claire mengakhiri essay yang dibacanya untuk perpisahan. Ia turun dari podium dengan langkah tegak dan bahu yang kokoh. Sinar matanya selalu hangat dan ramah saat memandang setiap orang, kecuali padaku. Oh, Claire…. Bukankah kau selalu menyerukan agar semua manusia di muka bumi ini berdamai. Tak perlu ada perang yang memakan banyak korban? Lantas kenapa kau menyatakan perang terhadapku, Claire?
Claire kembali duduk di bangkunya. Berdasarkan essay Claire, dosen menerangkan bahwa di dalam perang, korban terbesar adalah anak-anak dan perempuan. Anak-anak kekurangan gizi, kasih sayang, dan pendidikan. Sedangkan para perempuan diperkosa dan dilecehkan. Dosen berharap agar generasi kami menjadi generasi yang cinta damai dan bukan bar-bar.


Claire adalah salah satu korban perang antara suku Hutu dan Tutsi di Rwanda. Tragedi Rwanda 1994 telah membuatnya yatim piatu. Saat itu usianya enam tahun. Ia sedang bermain-main di antara pohon pisang dan tiba-tiba terdengar bunyi “ BUUMM ” yang dahsyat. Pohon-pohon pisang bergetar. Saat ia menoleh, rumahnya terbakar, Claire tidak bisa bergerak, orang-orang Hutu mengepung rumah. Setelah duapuluh menit, rumahnya jadi hitam dan rata dengan tanah. Ayah ibunya, kakek neneknya terjebak dan turut jadi abu.
Aku tidak tahu bagaimana cerita hingga akhirnya Claire sampai di kamp pengungsian. Di Rwanda terjadi baku tembak selama 100 hari. Pemusnahan suku Tutsi. Di kamp itulah Claire bertemu Clementie. Mereka bersahabat menghadapi kejamnya permusuhan. Dosa sejarah. Kesenjangan. Orang-orang Hutu yang jumlahnya mayoritas merasa tersingkirkan dan diperlakukan secara tidak adil oleh penguasa kolonial hanya karena warna kulit mereka lebih legam dan warna kulit orang Tutsi lebih terang. Lalu setelah merdeka, setiap penduduk memegang Kartu Tanda Penduduk, di sana tertulis suku Hutu atau suku Tutsi. Dan itu hanyalah semacam pertanda. Jika di Kartu Tanda Penduduk tertera Tutsi, maka kartu itu bukan tanda penduduk melainkan tanda kematian. Beruntung waktu itu Claire dan Clementie belum memegang kartu identitas tersebut. Beruntung lagi, ketika Clementie diambil bibinya ke Amerika, Claire ikut serta.
Saat ini Claire dan Clementie sedang dalam program student exchange. Mereka memilih Indonesia dengan alasan dalam dasa warsa terakhir di Indonesia terjadi banyak kerusuhan. Mereka bertujuan mengkampanyekan perdamaian. Tapi ironisnya, Claire tidak berdamai denganku. Aku bertugas menjadi mitranya ketika ia sampai di Indonesia. Mitra Clementie adalah Aryo. Mereka selalu bertiga. Aku cemburu, sebab seharusnya aku berada di dalamnya. Mungkin jatuh cinta pada Claire memang suatu kesalahan. Tapi benarkah kesalahan jika leluhur manusia dulu saling berjabat tangan, mengasihi, dan beranak pinak?
Dosen mengakhiri kuliah. Claire, Clementie, dan Aryo menuju perpustakaan. Aku mengikuti. Dulu Aryo kaget ketika ku utarakan aku jatuh cinta pada Claire.
“ Yang bener, Bung, selera cewekmu seperti itu?” katanya kaget
“ Kenapa? Apartheid sudah basi” balasku
“ Teorinya, ” cibirnya tak percaya, “Sampai kapanpun diskriminasi gak akan bisa dihapus dari muka bumi. Aku sebenarnya tidak setuju dengan konsep perdamaian mereka. Cuma gara-gara lancar bahasa Inggris saja aku bisa jadi mitra” lanjutnya
“ Jadi kamu menghalalkan anak-anak dan perempuan jadi korban?” protesku
“ Bukan begitu, Bung. Hanya saja, kalau dunia damai, aman, tentram, tak ada konflik, hidup jadi mandeg. Percaya deh, dalam kondisi seperti di surga manusia tidak berkembang”
Aku menggeleng tidak setuju meskipun aku menerima konsep kesetimbangan. Ada damai tentu ada perang, seperti ada laki-laki dan perempuan, kehidupan dan kematian. Tuhan sudah sangat adil. Lalu mengapa mesti ada Claire dan Clementie di sini? Menyebar damai dan aku menuai badai.
Setelah Aryo tahu perasaanku, ia seringkali mengejekku.
“ Bagaimana Si Bibir Seksi mu? “
“ Bagaimana Si Hitam Manis mu? “
“ Bagaimana Si Sintal yang keriting itu? “
“ Bagaimana Si ‘Tutsi Hot’ mu itu? “
Begitulah hinaan Aryo, dan untuk yang terakhir aku balas dengan tonjokan keras pada wajahnya.
Claire dan Clementie menuduh aku bersalah karena menggunakan kekerasan. Sangat bertolak belakang dengan konsep perdamaian mereka. Sungguh, seandainya mereka tahu mengapa aku harus menonjok Aryo sekeras itu. Mereka kemudian menjauhiku. Ketika kuputuskan menyatakan perasaanku pada Claire, aku berharap Claire luluh dan melupakan kejadian itu. Yang terjadi justru sebaliknya. Claire memusuhiku.
Di perpustakaan mereka berdiskusi tentang pertikaian antara Hamas dan Fatah. Semestinya dua kubu tersebut menyadari bahwa mereka hanya semacam proxi atau kepanjangan tangan dari kekuatan-kekuatan yang lebih besar di belakang mereka. Hamas oleh suriah- Iran, Fatah oleh Amerika, Israel, Mesir ,dan Arab. Juga pertikaian di Poso, Indonesia, juga pembantaian orang-orang Bosnia oleh Serbia. Claire menunjukkan fakta-fakta tragedy tersebut. Juga dalam seratus hari keparat itu di Rwanda. Seorang wanita hamil dibacok. Janinnya diambil, lantas orok itu dibuang ke parit seperti membuang kulit kacang. Ketika berbicara, Claire menitikkan air mata. Buru-buru ia menyekanya.
“ Kita harus menjadi orang kuat. Lebih kuat dari perang itu sendiri.” Katanya. Clementie memeluknya. Ia mencoba menghibur,
“ Ingat Wusu? Siberia cilik yang harus kehilangan kaki karena bom-bom perang yang nyasar ke rumahnya? Dia sepuluh tahun, namun tegar dan berniat melanjutkan sekolah meskipun dengan kursi roda.”


“ Ya,” Claire menyahut, “ Aku merasa beruntung meskipun yatim piatu. Berkat kau Clementie. Mungkin Tuhan menakdirkan aku untuk tetap hidup guna menyuarakan perdamaian mewakili mereka yang terbungkam atau dibungkam. Amerika harus bisa menyudahi semua ini.”
Claire memang menemukan kemerdekaannya di Amerika.Tapi apa ia tahu bahwa sebagian penduduk dunia menganggap Amerika sebagai pembantai itu sendiri. Seharusnya Claire tidak mengesampingkan demo-demo menolak Amerika. Seharusnya dia juga ingat pidato Presiden Hugo Chaves di hadapan PBB beberapa waktu lalu. Namun aku juga bisa memahami, jika bukan karena Amerika mungkin Claire hanya tinggal nama.
Berada di antara kemesraan dan ikatan emosi yang begitu kuat pada dua perempuan itu, Aryo tampak dungu. Melompong tanpa kontribusi. Kuberanikan diri menghampiri mereka. Lebih baik sehari jadi harimau daripada jadi kucing sampai akhir hayat. Aku sudah bosan memata-matai, meratapi Claire, dan memupuk kebencian terhadap Aryo. Lagi pula, besok mereka meninggalkan Indonesia. Semua memang harus tuntas hari ini.
“ Hai…” aku menyapa. Clementie menyambutku ramah, tidak demikian halnya dengan Claire dan Aryo.
“ Bolehkah aku bergabung? “
“ Of course, why not, dengan senang hati! “ ujar Clementie. Claire dan Aryo tidak berubah. Diskusi berlanjut, aku turut bicara. Kuutarakan pandangan-pandangan Aryo tentang pentingnya konflik bagi kehidupan. Reaksi Aryo, beringsut seperti siput yang menarik diri ke dalam cangkangnya.
“ Excusme, jadi kau berpikir bahwa perang adalah kebenaran? “ Claire geram. Matanya tajam menusuk ulu hatiku. Aku berusaha tenang, kukatakan,
“ Jika dunia damai, hidup mandeg dan tak berkembang.”
Claire benar-benar marah. Ditariknya tanganku ke suatu sudut.
“ What do you want? “ Claire menantang. Meskipun berbisik karena di perpustakaan, suaranya nyaring kudengar.
“ Semua itu pikiran Aryo.”
“ Kau kira aku tidak tahu? Aku tahu pendapatmu yang sebenarnya, bahwa tak boleh lagi ada korban perang, penindasan, kekejaman, holocaust, apapun. Aku hargai itu, tapi aku tidak suka devide et impera mu pada aku, Clementie, dan Aryo. Tell me why? “
“ Aku mencintaimu! “
Claire diam sesaat,
“ Sudah pernah kubilang lupakan itu. Forget it!! “ tandasnya.
“ Why? “
“ Because Clementie jatuh cinta padamu.”
Aku terbelalak. Sesaat kami terdiam. Claire kemudian melanjutkan,
“ Aku banyak berhutang budi pada Clementie dan aku tidak mau menimbulkan peperangan dengannya karena dirimu.You know, kau tidak perlu memiliki diriku. Jika kau berjuang dalam keyakinanmu, menyerukan perdamaian, maka aku akan tumbuh dan hidup di sana. “ Claire menunjuk dadaku. Aku tertegun. Oh, Claire ku! Bukan hanya perang yang memakan korban, ternyata perdamaian pun butuh pengorbanan.
*****
Pukul satu siang aku turut mengantar Claire dan Clementie ke Bandara. Clementie berpamitan, mencium pipi dan bibirku. Pada Aryo dia hanya mencium pipi saja.
“ I love you! “ katanya, riang dan sedih. Kusambut dengan senyum sewajarnya.
Claire tidak mencium Aryo, hanya memeluk sebentar saja, lalu memandang redup padaku.
“ Berdamailah dengan Aryo untukku, seperti aku akan berdamai dengan perasaanku sendiri untukmu.” Katanya, lalu mencium keningku. Aku memeluknya. Erat. Kulepaskan ketika kutangkap pandangan Clementie yang aneh. Ku kecup kening Claire dan ia pun pergi. Mereka pergi. Melambaikan tangan. Claire dan Clementie terbang menuju cakrawala.
“ Sudahlah, Bung, tak perlu melodramatic seperti itu! “ teriak Aryo. Aku lantas mengikutinya keluar Bandara. Membawa hati Claire yang hidup dan tumbuh di dadaku. Perpisahan ini kuanggap pengorbanan untuk perdamaianmu.
“ I love you, Claire!” ucapku pada langit.

(29 Januari 2007)
EPISODE MENJELANG MALAM
Oleh: Dwiha

“ Pada masa ini seharusnya perkawinan antara kulit hitam dan kulit putih tak lagi jadi masalah!” Luc berkomentar.
“ Kau bicara itu lagi padahal kau sangat tahu mengapa aku tak mungkin menikahimu.” Sahut Cleo jengkel.
“ Perasaan? Muasal kultural? Penyakit? Atau Si Jones Tua itu? ” Sindir Luc.
“ Cukup!!! Sampai di sini saja karena ternyata kau terlalu cerewet dan tak pernah bisa mendengar!” Cleo marah.
Cleo meninggalkan bangku taman menuju pinggiran danau dan memilih mengakhiri pembicaraan dengan Luc. Di hadapannya Luc senantiasa menjadi anak kecil yang bandel dan selalu butuh disuapi meskipun dalam perkara-perkara kecil. Cleo menyayangi Luc tidak untuk meracuninya. Jika Luc tidak bisa memandang secara dewasa maka perhatian dan kepedulian Cleo bisa saja berubah racun yang lama kelamaan membuatnya mandul kemandirian, pesimistik, dan putus asa pada tahap berikutnya. Dan hal itu tentu akan lebih merepotkan daripada keinginan Luc menikahinya saat ini.
Cleo perempuan modern yang idealis dan konsisten pada setiap komitmen. Selain karena ia adalah psikiater Luc dalam hal pengendalian emosi, semua ini tak lain dikarenakan masalah perasaan. Cleo perempuan yang menjunjung tinggi kemerdekaan perasaan dan pikiran sebagai capaian kualitas eksistensinya. Luc di hadapannya hanya menjadi psikopat kecil yang butuh sedikit terapi untuk tetap yakin pada dirinya sendiri.

Cleo menyelonjorkan kakinya yang panjang dan putih di rerumputan. Pening di kepalanya begitu tajam menusuk. Keringat dingin membasahi dahinya yang licin. Diciumnya kedua belah lututnya beberapa saat sambil menarik nafas dan menyimpannya pada perut. Orang yang tidak terlatih akan sulit menarik nafas dengan posisi demikian. Ia menghembuskan nafasnya perlahan-lahan, menghemat dengan cermat seakan itu adalah nafas terakhir yang memenuhi rongga di paru-parunya.
Pada dasarnya Luc laki-laki yang baik. Kesalahan Luc saat ini bukan karena ia seorang kulit hitam dari Zimbabwe melainkan adalah karena Luc sangat mencintai dirinya. Pernah pada suatu kali, sehabis Luc berolah raga di klub Simon, Luc segera mengelap keringatnya dengan sebuah handuk. Lalu ia menyuruh Cleo menghirup bau keringat yang menempel di handuk tersebut.
“ Kau merasa muak?” Luc bertanya separo menyelidik separo berharap.
“ Tidak. Baunya maskulin dan terasa menenangkan.”Cleo menjawab. Seketika wajah Luc berbinar.
“ Nah, kau tak lagi bisa mengelak.”
“ Mengelak?” Cleo keheranan.
“ Hormon di tubuhmu cocok, lebih tepatnya mengharapkan hormon dari tubuhku untuk melengkapinya.” Terang Luc dengan girang yang sengaja ditunjukkan.
“ Apa maksudmu?” Tanya Cleo sembari meraba maksud Luc sebenarnya.
“ Kau yang ahli psikologi.”cibir Luc.
“ Maaf, Tuan Luc Zeepard, saya ahli psikologi yang tidak menangani soal hormon.” Cleo kesal.
“ Maaf, Nona Cleopatra Allington, saya anjurkan mulai sekarang agar seorang psikolog mempelajari perkara hormonal, karena dari beberapa jurnal yang saya baca menyebutkan bahwa tindakan-tindakan emotif sangat dipengaruhi oleh kondisi hormonal dalam tubuh. Jadi mengapa saya mencintai Anda itu bukan semata-mata karena ketertarikan fisik luar namun lebih dikarenakan tarik menarik hormon-hormon dalam tubuh kita.” Luc menjelaskan dengan gaya yang dibikin elegan.
“ Jangan kau pikir aku tak paham cara kerja toxic itu!” Cleo tersinggung.
“ Aku tak pernah meragukan kualitas intelektualmu. Nah, jika setelah menikahiku kita punya keturunan maka bayi kita memiliki hormon yang lengkap. “
“ Sebaiknya kau tahu, Luc, bahwa manusia melahirkan keturunan yang selalu lebih baik daripada generasi sebelumnya.” Komentar Cleo datar.
“ Dan itu karena bergabungnya hormon yang menyempurnakan.” Luc tak mau kalah berargumen.
“ Terserah apa katamu, Mr. Hormon. Tapi kurasa kau telah membubuhkan minyak dan rempah-rempah aroma terapi untuk merayuku dengan bau tubuhmu, dan yang lebih menjengkelkan adalah kau telah menghabiskan sepuluh menit waktu istirahatku.” tuduh Cleo.
“ Jangan kasar begitu, Cleo. Silahkan beristirahat, tapi kujamin lebih dari separo waktumu dalam sehari ini kau akan merindukan bau keringatku.” Luc mengakhiri pembicaraan dengan keyakinan yang berlebihan.


Percakapan itu masih segar dalam ingatan Cleo. Pada waktu itu, ia mengusir Luc bukan karena benar-benar ingin istirahat melainkan online jurnal-jurnal penelitian terbaru mengenai hubungan antara sikap emotif dan kondisi hormonal. Dan benar adanya apa yang dikatakan oleh Luc. Hal pertama yang memunculkan ketertarikan pada lawan jenis bukan dari pandangan mata, namun dari bau yang keluar dari tubuhnya. Sensor penciuman akan menangkap bau secara cepat, mengirimkannya ke susunan-susunan neuron yang sangat rumit di otak, jika hormon dalam tubuh lawan jenis cocok dan saling melengkapi, maka bagian otak tertentu akan memberikan sinyal-sinyal ketertarikan yang biasa disebut dengan jatuh cinta. Waktu itu, Cleo menutup komputernya dengan meresapi bau keringat Luc dalam memorinya dan senyum mengembang di bibir.
Pernah juga, pada suatu pagi, Luc mengetuk pintu rumah Cleo. Cleo membuka pintu dan agak terkejut mendapati Luc dalam kondisi setengah mabuk.
“ Miss Allington, bersediakah kau bercinta denganku?”
“ Kau sedang mabuk dan tentunya kau belum membaca jurnal pagi ini, Luc.” tegur Cleo. Luc menggeleng. Kemudian Cleo menjelaskan dengan penekanan tertentu pada beberapa pernyataan.
“ Profesor Grace menganjurkan agar kita bercinta dengan orang yang benar-benar kita cintai saja. Karena pada waktu bercinta otak kita mengeluarkan semacam zat toxid yang akan mempererat hubungan dan komitmen, serta memunculkan perasaan saling mencintai yang lebih kuat dari sebelumnya. Dan jika tidak berdasarkan cinta, akibatnya mengerikan, yaitu sikap-sikap emotif yang negatif. Depresi, pemarah, pemalu, penyendiri, dan sebagainya, dan itu akan sangat mengganggu perkembangan kepribadianmu.”
“ Cleo…,”
“ Sudahlah. Pulanglah dan segera bersihkan tubuhmu. Simak kata-kataku tadi. Itu bahan kita terapi hari ini.” Cleo menutup pintu.
Cleo menarik kepalanya ke belakang. Meski sekuat tenaga ia mencoba untuk tenang, namun masih saja tersisa risau yang tersimpan begitu dalam. Ia melirik ke bangku taman beberapa meter dari tempatnya menyelonjor kaki saat ini, Luc masih terpaku. Laki-laki itu selalu berpikir Cleo menolak cintanya karena ia berkulit hitam. Luc selalu membawa-bawa warna kulit dalam setiap persoalan.. Perkiraan itu diperkuat ketika akhir-akhir ini Cleo dekat dengan seorang kulit putih, dokter ahli dari Swiss. Luc cemburu tapi ia tidak punya jalan untuk mengungkapkan.
Demi kepentingan semua pihak, Cleo memanfaatkan kedekataanya dengan dr. Jones untuk mengelabuhi Luc. Taktik Cleo memang jitu. Sejak ia selalu terlihat bersama dr. Jones, Luc menjauhinya. Ia tidak datang lagi untuk konsultasi. Setiap kali berpapasan muka secara kebetulan, Cleo sengaja menunjukkan sikap mesra pada dr. Jones sehingga Luc mengumpat dan berkata jorok padanya. Cleo tersinggung ketika Luc menyebutnya hostes bayaran yang diskriminatif dan rasial, tapi ia tak bisa marah sebab yang muncul dalam hatinya justru perasaan kasihan yang amat sangat. Luc bersikap tak senonoh padanya karena itu merupakan satu-satunya kekuatan yang masih tersisa untuk membuatnya berdiri tegak. Sebagai terapis Luc, Cleo sangat menyadari bahwa titik terlemah Luc ialah pada saat ia jatuh cinta dan pada saat ia cemburu. Dan saat ini, Luc diserang keduanya.
“ Cleo, kuantar kau pulang. “ dr. Jones tiba-tiba saja sudah berada di hadapan Cleo dan mengulurkan tangan. Cleo mengerahkan seluruh daya upayanya untuk bangkit. Dr. Jones meraih tubuhnya dan memapahnya keluar taman. Luc menatap mereka dari tempatnya. Sorot matanya penuh rasa benci dan sakit hati.

*****

Cleo menelan beberapa pil berwarna coklat kemerahan ketika dr. Jones datang.
“ Cleo…,” suara dr. Jones tertahan.
“ Apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu bahagia?” lanjutnya parau. Cleo tersenyum.
“ Dokter, mendung sudah lama datang dan saya juga sudah siap menyambut malam. Berapa lama lagi kesempatan saya, dr Jones?”
“ Sudah hampir rata menutupi paru-paru.” Dr.Jones menjawab dengan jengah.
“ Berapa lama lagi, dr Jones?” Cleo mengulangi pertanyaannya.
“ Delapan sampai sepuluh hari.” dr.Jones menjawab. Cleo tercekat, tersedak nafasnya sendiri. Sama sekali tidak terpikir olehnya akan secepat ini. Meski ia merasa sudah mempersiapkan diri, vonis itu tetap saja mengundang galau. Muncul bayangan Luc di kepalanya. Luc yang marah, Luc yang cemburu, Luc yang menyenangkan, Luc yang menjengkelkan, Luc yang putus asa. Luc yang mencintainya, Luc yang ingin menikahinya, Luc yang…,Luc…,Luc…..eeeeaaarrrggghhh…pekiknya tertelan.
“ Dr. Jones, kau punya rokok?” Tanya Cleo mencoba memecah gelisah. Serapat apapun Cleo menyimpan risaunya, dr. Jones mengetahui. Ia terbiasa menghadapi pasien yang berada di ujung maut. Bedanya, kali ini ia menghadapi perempuan yang berupaya tegar dalam kondisi sekarat. Cleo terlambat menyadari ada yang tidak beres dalam perutnya dan kanker itu menyebar tanpa bisa dikendalikan. Dari awal mula pemeriksaan Cleo bersikeras mengetahui setiap mili perkembangan makhluk ganas yang mengeram dalam perutnya. Cleo mencoba menghadapi maut dengan caranya sendiri.
“ Aku punya permen rasa jahe kalau kau mau. Hangat di tenggorokan dan di perut.” Dr Jones menawarkan.
“ Baiklah, kurasa permen jahe hal yang baik juga.” jawabnya dengan senyum kecut yang jarang mengembang di hadapan dr. Jones. Dr. Jones merogoh kantongnya, kemudian mengulurkan beberapa buah permen jahe kepada Cleo.
“ Terima kasih, dr. Jones. Aku merasa lebih baik.” ucapnya sembari mengunyah sebuah permen jahe di mulutnya.
“ Kau mau tidur? Biar kumatikan TV nya.” Dr Jones berdiri hendak mematikan televisi.
“ Dr. Jones…,” panggil Cleo pelan.
“Ya. “ dr. Jones menyahut ragu. Pandangan teduhnya menyapu wajah pasi Cleo.
“ Kau akan selalu menemaniku?” Cleo bertanya.
“Ya. “ dr. jones mengangguk.
“ Meski aku tak bisa berkata-kata lagi?” Cleo pesimis.
“Meski kau tak bisa berkata-kata lagi.” Dr.Jones menjawab pasti.
“ Aku ingin menyampaikan sesuatu. “ ungkap Cleo
“ Aku ada di sini.” dr. Jones siap mendengar.
“ Luc.” Sebut Cleo.
“ Itu yang membuatmu tidak tenang?”
“ Aku punya tanggung jawab tersendiri karena aku adalah psikiaternya. Aku kasihan padanya. Sudah kubilang aku sakit. Aku melarangnya jatuh cinta padaku tapi ia tak mau dengar. Saat ini kurasa ia sedang berjuang untuk berkompromi dengan perasaannya sendiri agar tak cemburu padamu.” jelas Cleo.
“ Tampaknya ia laki-laki yang baik.”
“ Memang. Dan aku tak ingin menyurukkannya pada kepedihan. Ia sulit pulih dalam hal emosional.”
“ Apa yang kau ingin aku lakukan?” Tanya dr. Jones hati-hati.
“ Seperti Global warming. Hati dan pikiran Luc sudah terkena radiasi dari impuls-impuls negatif yang ia ciptakan sendiri. Egonya ingin mendapatkan cintaku dan id tidak bisa memenuhi kebutuhan itu. Superegonya tidak berperan baik menengahi kesenjangan tersebut. Aku khawatir ia frustrasi. Dan saat ini bisa kupastikan bahwa ia sedang frustrasi. Pada tahap awal, frustrasi bisa dikendalikan jika superego sanggup melakukan peranannya.”
“Global warming.” gumam dr. Jones memikirkan hubungan hal-hal tersebut.
“ Di Kutub, meskipun suhu naik setengah derajat Farenheit saja selama satu abad, itu sudah sanggup membunuh jutaan plakton yang merupakan sumber makanan biota laut dan juga banyak Beruang Kutub mati tenggelam.”
“ Maksudmu Luc seperti Kutub yang sensitif? Perselisihan-perselisihan kecil antara ego, id, dan superego akan membahayakan jiwa Luc?”
“ Masalahnya adalah Luc tidak pernah mau dewasa, aku khawatir setelah panas yang tak terhingga setelahnya adalah dingin dan beku yang tak terhingga.”
“ Siklus.” sahut dr. Jones,
“ Aku hanya bisa berharap padamu, dr. Jones.” Cleo mengiba. Setelah sejenak terdiam, dr. Jones memandang Cleo dengan seulas senyuman.
“ Baiklah. Tapi kau harus menyadari aku tak mampu berperan sebagai Tuhan.” Ungkap dr.Jones.
“ Terima kasih, dr. Jones!” balas Cleo lega.

*****

Tiga hari setelah Cleo meminta dr. Jones untuk membuat Luc mengerti kondisinya, Cleo sudah tidak bisa lagi menggerakkan lidahnya untuk berbicara. Cleo bernafas dengan bantuan selang-selang yang dililitkan pada alat pernafasan. Adalah sebuah keajaiban jika Cleo masih bisa melihat dan mendengar dengan jelas pada fase penyakitnya saat ini.
Semenjak Cleo tidak lagi sanggup berbicara, dr. Jones menjadi jarang mengunjunginya. Cleo kecewa karena dr. Jones tidak menepati janji. Dr. Jones digantikan dokter ahli lain untuk menangani kasus Cleo. Tanpa dr. Jones, Cleo merasa dirinya hampa. Dr. Jones sudah seperti ayahnya sendiri dan tentunya hanya dr. Jones lah yang sanggup memberinya keterangan mengenai Luc. Cleo tak bisa menanyakan keberadaan dr.Jones dengan suara, tubuhnya juga sudah sulit digerakkan karena ia tak lagi punya daya upaya. Satu-satunya jalan ialah dengan ekspresi wajah dan bola matanya. Namun sayang, dokter baru yang menanganinya tidak peduli pada ekspresinya, begitu pula para perawat. Di benak mereka hanya terpikir bahwa Cleo sekarat dan wajahnya semakin pucat saja.
Cleo menggerutu dalam hati, seandainya ia bisa menyumpahi dokter ahli itu ia akan mengumpat sejadi-jadinya. Bagaimana mungkin dia mendapat gelar dokter ahli jika tidak peka pada reaksi-reaksi psikologis pasiennya. Tapi ketika Cleo hendak menuding-nuding hidung pengganti dr. Jones itu, ia terhempas pada kesadarannya sendiri bahwa ia sedang sekarat.
Dua orang petugas perawat di kamar Cleo sedang membenahi selimut Cleo yang lecek tak teratur ketika Pengganti dr. Jones masuk.
“ Pasien ini rupanya yang membawa petaka bagi dr. Jones.” geramnya.
“ Cleopatra Allington?” selidik perawat.
“ Siapa lagi. Belakangan dr. Jones sibuk mengunjungi seorang pemuda bernama Luc Zeepard yang nota bene adalah kekasih Cleopatra Allington. Ketika pemuda itu bunuh diri, polisi menangkap dr. Jones untuk penyidikan. Dr. Jones dicurigai menjadi penyebab kematian Luc. Bisa kau bayangkan? Sudah sekarat masih juga bikin masalah. “ Gerutunya,
” Bagaimana denyut jantungnya?”Tanya si dokter kemudian.
“ Normal.” Sahut Perawat sambil mengamati monitor. Namun mendadak muncul dengingan aneh dari alat tersebut. Para perawat dan Pengganti dr. Jones terkejut. Di tatapnya lama-lama garis-garis segitiga yang turun naik agak tak beraturan. Ia menjadi ragu dengan jawabannya barusan.
“ Dokter….” Panggilnya ragu
“ Denyut jantungnya melemah,… nyaris…, Dok, tak ada denyut!!” Perawat panik.
“ Beri kejutan!” Pengganti dr.Jones merespon dengan cepat.
Beberapa kali alat pacu jantung menempel di dada Cleo. Sia-sia. Garis di monitor lurus dan berdenging. Wajah Cleo tampak tegang dan shock. Ia benar-benar tidak berharap Luc bunuh diri dan ia menyesal dr. Jones terlibat dalam semua ini. Cleo diliputi rasa bersalah. Seandainya ia tak harus terbaring di Rumah Sakit, ia pasti bisa mencegah Luc. Tapi sekali lagi Cleo harus terhempas dan pasrah. Lalu ia berhenti bernafas. Lalu tak berdetak. Lalu sama sekali tak ada detak. Tak ada lagi detak di jantung Cleo. Cleo mungkin bunuh diri dengan memilih mati. Tak ada pilihan. Ia terus berusaha menjaga pikiran dan perasaannya untuk tetap hidup demi Luc. Luc bunuh diri. Tanpa pembelaannya, dr. Jones mungkin juga akan masuk penjara. Lantas, apa yang bisa diperbuatnya selain mati? Ya, mati. Maka, Cleo mengikhlaskan pikiran dan perasaannya untuk mati bersama tubuhnya. Lalu hening. Hanya terdengar desah nafas memburu yang pelen-pelan diatur dan kembali normal dari Pengganti dr. Jones dan dua orang perawat. Detak jantung mereka yang seakan dipacu panik juga berangsur-angsur ke ukuran normal 75 kali per menit. Mereka sudah berpengalaman menghadapi nyawa yang melayang.
“ Kita sudah berusaha.” Kata Pengganti dr.Jones datar.
“ Aku akan menghubungi keluarganya.” kata salah seorang perawat
“ Apa kau pikir karena perkataanku mengenai dr. Jones dan Luc Zeepard tadi?” tanyanya pada perawat yang lain.
“ Entahlah, dok.” jawab si Perawat acuh sambil menarik selimut menutup wajah pucat Cleopatra Allington.

*****Solo, 10-11 Desember 2007
JUWITA
Oleh: Dwiha

“ Apa yang kau sembunyikan di balik punggungmu, Sayang?” tanya Mama Juwita curiga pada gerak-gerik putri kesayangannya.
“ Aku tidak menyembunyikan apa-apa, Ma.” Jawab Juwita tenang.
“ Kalau begitu jangan taruh tanganmu di belakang punggung. Orang Jawa bilang itu mbondo tangan yang artinya menggendong setan!” pinta Mamanya. Juwita terdiam.
“ Jangan bilang kau menyembunyikan setan dalam tanganmu, Nak?” selidik Mamanya. Juwita menggeleng.
“ Lalu?” Mamanya mendesak. Pelan-pelan Juwita menggerakkan tangannya. Ia ulurkan ke depan agar bisa terlihat oleh Mamanya.
“ Aku membawa belati, Ma.” Aku Juwita. Mamanya terperanjat.
“ Itu pisau, Nak!”
“ Boleh kan jika kuanggap ini belati?”
“ Jangan bermain-main dengan pisau, nanti kau sendiri yang tercincang!” Mama Juwita mengingatkan. Juwita tidak menggubris perkataan Mamanya. Matanya tajam tertancap pada sebilah pisau yang digenggamnya. Ngeri, penuh amarah, dan benci.
“ Apa yang akan kau lakukan dengan pisau itu?”
“ Belati, Ma! Sudah kubilang ini belati!”
“ Mama bertanya apa yang akan kau lakukan dengan benda itu?” Mama Juwita mengulangi pertanyaannya.
“ Membunuh suami Mama!” jawab Juwita dingin.
“ Mama tidak punya suami!”
“ Sebelum aku lahir?”
“ Bahkan sebelum kau terlahir!” tegas Mama Juwita. Juwita melenguh,
“ Mama tidak punya suami. Aku juga tidak punya Papa. Lantas ia disebut apa, Ma?”
“ Laki-laki.”
“ Baiklah! Kalau begitu aku akan membunuh laki-laki!!” kata Juwita mantap.
Lantas Juwita berlari ke luar rumah. Ia berlari cepat dan semakin cepat. Ia tak peduli pada teriakan Mamanya yang memanggil putri semata wayangnya itu untuk kembali. Akhirnya, Mama Juwita memutuskan untuk mengikuti ke mana Juwita berlari. Ia bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah anaknya telah menjadi gila? Setan apa yang telah merasukinya? Apa yang menyebabkannya jadi gila? Tidak! Bantahnya sendiri. Anakku tidak gila, pikirnya.
Juwita adalah seorang kanak-kanak yang beranjak remaja. Tubuhnya ranum dan segar. Ia begitu lincah dan berani. Ia kini berlari dengan gagah layaknya ksatria berkuda ketika perang. Juwita terus menerus meneriaki para lelaki.
“ Laki-laki, siapakah yang menyebabkan aku lahir ke dunia? Laki-laki, terlaknatlah aku jika tidak menghukum pembunuh Mamaku! Laki-laki, aku menantangmu! Penuhilah tantangan Juwita ini!”
Juwita terus berteriak-teriak. Ia berlari melewati pasar-pasar yang penuh sesak dengan orang-orang. Ia berlari di dalam mall-mall yang menjulang, menembusnya hingga sampai lapangan golf, lalu menuju ruang sidang para pejabat yang udaranya angkuh dingin. Ia terus berteriak, menantang para lelaki yang dilewatinya. Juwita terus berlari. Ia melabrak ruang-ruang di mana para lelaki biasa berkerumun menertawakan perempuan.
Bagai sekelompok laron dari kegelapan yang mencari cahaya, para lelaki yang merasa terhina menyerbu Juwita dengan ganasnya. Juwita tidak tampak ketakutan. Ia justru berhenti di sebuah lapangan yang luas, segera mengenakan jubah kebesarannya dan tersenyum penuh kemenangan. Ia menghadang para lelaki itu dengan berkacak pinggang.
“ Baguslah para lelaki memenuhi undanganku!” gumamnya sombong.
“ Juwita, apa yang kau lakukan ini sungguh-sungguh tidak sopan?” protes para lelaki.
“ Kau pikir menghamili Mamaku lantas membunuhnya itu disebut sopan?!” balas Juwita.
“ Tidak ada yang menghamili dan membunuh Mamamu di antara kami.” Jawab para lelaki.
Juwita tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban tersebut.
“ Jadi kalian ini gay, atau…kalian tidak punya lagi kelamin yang membanggakan itu? Atau…istana phallus telah runtuh tersambar petir? Lalu kenapa kalian masih juga berjaya dan berpesta pora? Atau sekarang kalian ini banci yang sedang mempecundangi diri sendiri?”
“ Cukup celotehmu, Juwita!”
“ Belum cukup! Sudah berabad-abad dan belum juga kau pahami bibir perempuan. Baiklah, aku harus membunuh laki-laki!”
“ Kami bukan Papamu!” teriak para lelaki.
“ Papa? Aku tidak punya Papa!”
Di tengah-tengah perdebatan itu, muncullah Mama Juwita yang terengah-engah menuju kerumunan.
“ Juwita, lihatlah itu Mamamu, tidak ada yang membunuhnya!” teriak seorang laki-laki.
“ Ooh… jadi tidak ada yang membunuhnya? Lantas siapa yang setiap malam netek di putting perempuan dan menghisap hangat tubuhnya hingga lahirlah anak haram?” teriak Juwita geram.
“ Juwita, mereka tidak harus bertanggung jawab terhadap perkosaan itu. Jangan menuntut tentang dosa yang tidak terlaksana!” Mama Juwita turut berbicara.
“ Mama ingin bilang kalau Mama memperkosa diri sendiri? Lalu mengapa Mama menjelma mayat hidup? Ada dendam di hati Mama yang setiap saat berlalu menggerogoti akal warasku, dan sekarang Mama bilang para lelaki tidak bersalah?” Juwita memprotes, kemudian ia kembali bicara,
“ Salah satu di antara mereka telah memperkosa Mama, sebagian dari mereka telah memperkosa istri-istri nya, sebagian lagi memperkosa perawan-perawan hingga dinista, sebagian lagi, telah memm-perr-koo-saa-ku, Mama!”Juwita mengerang, ia lantas melanjutkan,
“ Akan tetapi aku tidak menuntut perkosaan atas diriku. Aku tidak bisa dinista sebab aku memiliki nilai hakiki perempuan, tanpa keperawanan aku masih memiliki kekuatan tiada tara untuk membangun kehidupan. Aku tidak punya air mata untuk ditumpahkan. Mama telah merampas air mataku, hatiku, dan pikiranku. Aku telah menyerahkan diriku untuk Mama yang tiap malam mengutuki nasib.”
“ Nasib tidak bisa dilawan, Sayang!” ucap Mamanya.
“ Bukan nasib, Ma! Ini perjalanan. Seburuk apa pun, jika ia jalan maka layak untuk dijalani. Tidak ada yang tercipta untuk sia-sia.”
“Lalu kenapa kau hendak membunuh kami?” teriak para lelaki.
“ Sebab lelaki telah menjadi belatung yang menjijikkan!”
“ Tidak semuanya seperti itu.” para lelaki membela diri.
“ Lantas mengapa tidak ada yang mengaku?”
“ Mengaku apa? Perkosaan? Kami tidak memperkosa. Para perempuanlah yang butuh diperkosa sehingga mereka menjebak kami dalam kamar-kamarnya. Apa kau tidak menyadari, Juwita? Sebagaimana dirimu, perempuan perkasa, kamilah para lelaki yang sebenarnya terjajah!”
“ Dasar pecundang!” Juwita menyumpah.
“ Bagaimana kami tidak jadi pecundang ? Para perempuan memiliki bisa beracun dalam mulutnya. Sekali mereka julurkan lidahnya, maka matilah kami.” Aku para lelaki mengiba. Juwita tersenyum lebar dan dingin. Ia memandang ke arah Mamanya dan berbicara dengan nada yang lunak,
“ Mama, mereka telah mengakui bahwa mereka adalah pecundang, masihkah Mama punya dendam?”
“ Laki-laki itu lamis jika bicara pada perempuan, Juwita. Jika kau lengah, kekuasaan mereka akan melibasmu sampai kau lebur bersisa debu.” Jawab Mama Juwita.
“ Kalian dengar apa kata Mamaku?”
“ Lalu apa yang kau inginkan dari kami?” tanya para lelaki.
“ Memenggal kepala kalian satu per satu dengan belatiku.” Kata Juwita dingin dan anggun. Juwita berdiri di atas mimbar kekuasaan didampingi Mamanya. Sementara para lelaki bertekuk lutut dan memohon pengampunan. Mama Juwita gelisah. Sebentar-sebentar ia memandang para lelaki, lalu pada putrinya. Tidak seharusnya Juwita menginjak-injak kodrat karena dendam dalam hatiku, pikirnya. Lalu Mama Juwita berkata,
“ Juwita, tidakkah kau merasa takjub atas semua ini? Laki-laki bersujud pada perempuan, lantas di mana perempuan harus menempatkan dirinya?”
“ Mama yang menentukan di mana perempuan harus duduk.”
“ Emansipasi perempuan sudah kelewatan jika begini.” Gerutu Mama Juwita.
“ Mama plin-plan!” cibir Juwita.
“ Feminismemu terlalu arogan, Sayang. Simpanlah pisaumu dan menikahlah dengan laki-laki!”
“ Menikah? Laki-laki?”Juwita ternganga.
“ Memenjarakan laki-laki dalam aturan dan rumahmu. Itulah jalurnya!”
“ Mereka akan menetek di putting susuku sampai kempes!” Juwita ngeri.
“ Reguklah surga daripadanya!”
“ Mama percaya cinta rupanya, lihatlah para lelaki itu mencibir mendengar perkataan Mama.”
“ Hei, Nak, Mama punya ide. Kemarilah!” Mama Juwita kemudian membisikinya sesuatu. Juwita tersenyum menyetujui. Dalam sekejap Mama Juwita meninggalkan Juwita beserta kerumunan lelaki yang tengah bersimpuh itu.
“ Juwita, kau akan tetap memenggal kepala kami?” tanya para lelaki. Juwita menggeleng dan tersenyum licik.
“ Tidak. Aku akan menyimpan belatiku.” Jawab Juwita.
“ Berarti kau tidak akan mempermalukan dan memusuhi kami lagi?”
“ Tidak juga!”
“ Ayolah, Sayang, apa yang sebenarnya akan kau lakukan pada kami?”
Juwita menyeringai. Wajahnya memerah bagai kulit bayi kepanasan. Ia menunjuk satu arah. Mamanya datang kembali bersamaan munculnya segerombolan perempuan yang tertawa cekikikan, malu-malu tapi nakal. Tawa cekikikan yang berisik dan melengking-lengking memenuhi lapangan luas itu, sampai-sampai para lelaki harus menutup telinganya untuk menghindari suara-suara itu.
“ Lihatlah, Juwita, belum-belum para lelaki itu sudah tersiksa. “ ucap Mamanya. Juwita tersenyum penuh kepuasan. Ia lantas berpidato dengan lantang,
“ Wahai kaumku, para perempuan, lihatlah para lelaki di hadapan kita ini. Barusan mereka berkata bahwa perempuan menyimpan bisa beracun dalam mulutnya, maka julurkan lidah kalian sampai tubuh mereka membiru dan tak berdaya. Renggutlah kekuasaan, surga, dan cinta mereka dalam aturan dan rumahmu. Tumpahkanlah segala kasih sayang dan sumpah serapahmu atas mereka.” Teriak Juwita dalam gegap gempita.
Serentak para perempuan menyerbu dan memburu ke dalam kerumunan laki-laki. Mereka menjulurkan lidahnya dan menjerat laki-laki dalam pelukan mereka yang penuh kepasrahan, kebencian, cinta, serapah, dan kasih sayang.
“ Tuhan memberkatimu, Anakku!” kata Mama Juwita. Mereka berdua saling tersenyum dan berpelukan.
“ Sekarang berikan pisau itu, Sayang. Mama membutuhkannya untuk memasak!” kata Mamanya lagi. Juwita memandang benda tajam itu lama-lama seakan-akan tidak rela melepasnya,
“ Ini belati, Ma!”
“ Mama butuh memasak!”
Juwita diam dan berpikir, ia tercenung beberapa waktu,
“ Baiklah, aku kelaparan, Mama.”

(21 Agustus 2006)

Kamis, 28 Agustus 2008

NYANYIAN PANTAI

Suara ombak riuh menerpa tegarnya karang. Menyapu lembut landai bibir pantai. Burung camar menari bersama hembusan angin. Terasa kencang sehingga sesekali sekawanan camar itu harus melemahkan sayap mengikuti arah angin. Hinggap di balik rimbun dedaunan dan menengadah ke langit biru. Sementara sekawanan lainnya masih riuh menelanjangi keindahan alam pantai.
Panas sang surya terasa menyengat tubuh, meskipun ia sudah mulai condong ke ufuk barat. Panasnya meresap di antara sendi kulit seolah hendak menggosongkannya. Sepasang insan menatap jauh mengitari samudera di hadapannya. Sesaat pandangan merreka turun menyusuri ombak berkejaran. Mereka duduk berdekatan di atas hitam karang yang kokoh di bibir pantai. Kepala masing-masing saling condong dengan arah berlawanan sehingga berdekatan dan saling menempel.
Angin mengiringi nyanyian itu. Hembusannya menjadfi musik pengiring alami. Bibir Alisa menari membentuk alunan lagu. Bait demi bait terlantunkan. Angin sesekali menyibak helaian rambutnya, namun ia tetap melantunkan iramanya. Tak terganggu tarian helai rambut di depan matanya. Suaranya begitu merdu. Syahdu meniti alam merindu.
Sementara Ale yang berada di sebelahnya terlihat menikmati alunan lagu tersebut. Alunan lagu dari Alisa terasa menyejukkan relung-relung jiwanya. Ale menyatukan perasaannya dengan keindahan suasana pantai dan alunan lagu Alisa. Mereka tak menghiraukan segelintir orang yang turut menikmati keindahan pantai. Suara anak tertawa riang bermain ombak terkadang menyela lagu yang masuk ke telinga Ale. Semua tak dapat mengusik bagaimana Ale menikmati syahdu alunan lagu Alisa.
Nyanyian itu berhenti. Kedua mata saling menatap. Berangsur-angsur tatapan itu menjauh. Kemudian memandang jauh ke lepas pantai. Lagu itu seperti hilang tertiup angin kemudian terukir di putih arakan awan. Atau mungkin juga alunan lagu tersebut hilang menelusup jauh di jiwa Ale.
Dalam hati Ale, ia memuji keindahan suara Alisa. Kebiasaan Ale hanya memuji seseorang dengan mulut terkunci. Ia tak suka memuji orang lain dengan terang-terangan. Entah itu sahabat terdekatnya sekalipun. Bisa di katakan sombong mungkin. Mereka terpaku satu sama lain. kebosanan menggelanyuti mereka. Bukan kebosanan menikmati lepas pantai tersebut, namun kebosanan yang menggiring hati mereka untuk lebih jauh menikmati pantai sekitar.
Keduanya beranjak berdiri. Mengikis langkah-langklah meninggalkan karang. Lembut pasir menggelitik kaki-kakinya. Bersama nyanyikan cerita-cerita lalu menghiasi langkahnya. Segenap rasa riang bersatu di perasaan mereka. Teringat akan kehidupan di sekolah lanjutan pertama. Di masa itu mulai perkenalan itu. Perkenalan yang memulai kisah-kisah kocak masa remaja. Canda tawa, saling ejek, bahkan saling bekerja sama untuk mencontek sewaktu ulangan. Memori otaknya masih mereka semuanya.
Bibir Alisa masih melantunkan kisah-kisah masa lalu. Kemudian di susul cerita Ale. Tawa terpecah di antaranya bersama riuh deburan ombak. Berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih dalam rajutan benang asmara. Sebenarnya mereka hanyalah sahabat dekat, namun mereka tak pernah bercakap-cakap mengenai isi hati. Mereka hanya bercerita tentang kehidupan sosialnya. Tak pernah muncul di antara cerita mereka tentang kisah cinta. Tak tahu satu sama lain siapa yang di cintai atau bahkan kekasih masing-masing. Suatu persahabatan yang terasa aneh.
Letih merajam kaki mereka. Sengatan mentari semakin meredup. Ale mengajak Alisa duduk di bawah rimbun pohon di tepi pantai. Mata Ale menatap tajam paras Alisa. "Cantik juga", gumamnya dalam hati. Mata Alisa menangkap tatapan itu. Tatapan Ale secepat kilat berlari dari binar mata yang menangkapnya. Senyum Alisa tersipu-sipu.
Rasa itu berdesir dalam dada Ale. Namun kata hatinya menangkap berlawanan. Hatinya masih terpatri dengan seorang bernama Ita. Kenyataan tak membuat pikiran Ale mengolahnya menjadi benar-benar nyata. Ita tak tahu rasa dalam hati Ale. Ale sendiri hanya merasakannya. Tak ada sebuah pengungkapan dan kepastian. Tak ada kisah kasih di antaranya. Hanya ada rasa satu arah dari hati Ale. Atau mungkin Ita merasakan hal yang sama dirasakan Ale. Semua tak bisa terjawab hanya dengan diam. Tanpa pengungkapan. Diam dan membisu dalam rasa yang sekian waktu terus merong-rong hati Ale. Dan menyisakan sebuah misteri.
Ale seakan tak sadar bahwa hubungannya dengan Alisa begitu dekat ibarat sepasang kekasih. Teman-teman Ale maupun Alisa sering kali berkeyakinan mereka telah menjadi sepasang kekasih. Semua itu hanya suara angin. Isu semata. Ale tak menyadari bahwa kisah kasihnya dengan Alisa begitu nyata. Ke mana-mana selalu bersama. Entah itu acara ulang tahun, perayaan tahun baru atau liburan selalu terlihat bersama-sama. Rasa tak mengikatnya atau memang belum tiba waktunya.
Angan Ale melayang menembus alam pikirnya. Ia berpikir jika Alisa menjadi kekasihnya. Muncul di tengah angan itu tentang sifat-sifat Alisa yang mungkin banyak bertentangan dengannya. Namun Ale sekiranya justru menyukai sifat-sifat yang bertentangan dengannya itu. Tiba-tiba pikirannya membentuk sebuah pertanyaan bagaimana asanya untuk melangkah meniti rasa hati bersama dengan Ita. Serasa semua masalah itu menumpuk menjejal seluruh alam pikirnya. Seakan hendak meledakkan otaknya.
"Le, Ale…..?Ale…?". suara Alisa begitu lembut untuk memecah lamunan Ale. Alisa melambai-lambaikan tangan kanannya di depan mata Ale. Ale pun tersigap. Ia menjauhkan lamunannya dan merespon suara Alisa. Alisa mengajaknya untuk pulang karena hari mulai beranjak petang. Ale beranjak dari duduknya. Tangan Ale menjulur ke arah Alisa yang merengek manja untuk membantunya berdiri. Rengekan manja, canda tawa serta senyum Alisa sering kali menggetarkan jantung Ale, walau bayangan Ita masih tetap menggelanyuti lubuk hatinya. Mereka berjalan berdampingan dengan tangan Ale masih mencengkerama tangan Alisa. Terasa romantis dengan warna senja yang mulai memarun. Tapi mereka bukan sepasang kekasih.
Langkah kaki mereka menjauh dari pantai. Mereka sudah mendapati motor Ale. Motor bebek biru yang selalu menemani Ale ke mana saja ia pergi. Alisa membonceng di belakang Ale. Tidak tampak sepasang kekasih. Alisa tak pernah mempererat boncengannya dengan Ale. Ia selalu menjaga jarak. Berbeda sekali dengan cewek-cewek lainnya. Walaupun bukan suami istri atau bahkan bukan kekasih, namun mereka berboncengan dengan pelukan yang erat.
Jalanan begitu sepi. Hanya satu atau dua kendaraan terkadang berpas-pasan dengan motor Ale. Ale mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Laju motor menjauh dari pantai. Namun semakin jauh, langit semakin hitam karena mendung. Rintik hujan pun turun. Langit semakin gelap oleh senja yang segera menjemput malam. Ale dan Alisa tetap meneruskan perjalanan walau dengan basah kuyup. Mereka bisa saja menunggu hujan reda, namun hari semakin gelap.
Ale tetap tenang mengendarai motor di jalanan yang licin. Sesekali ia menggigil karena kedinginan. Hempasan angin tak jarang membuat tubuh yang tak memakai jaket itu semakin menggigil. Sementara Alisa justru melepas jaket hitamnya. Kemudian mengenakan jaketnya di tubuh Ale. Tepatnya di dada Ale, jaket itu menempel di dada Ale dengan bantuan angin yang menghempas dari depan. Ale merasa hangat dengan jaket itu. Namun ale merasa perlakuan Alisa terhadapnya lebih hangat dari pada jaket itu. Hati Ale merasa nyaman, begitu besar perhatian Alisa terhadap Ale.
Ale mengantar Alisa sampai depan rumahnya. Ia tidak mampir dan langsung pamit untuk pulang. Saat ia berpamitan dan menjalankan motornya, Ale menatap Alisa yang melambaikan tangan disertai senyum manisnya. Ale membalas senyum itu dan berangsur-angsur menghilang di ujung jalan.
Tiga hari kemudian, Ale merasa bingung. Kemana rasa di hatinya berjalan. Alisa? Ita?. Dua insan yang memeluk hatinya. Hatinya terpagut akan rasa cinta pada Ita. Di sisi lain hatinya juga terpagut Alisa. Alisa selalu menghadirkan kisah-kisah yang berkesan dalam hatinya. Alisa sering berada di sisinya. Banyak waktu yang dihabiskan bersama Alisa. Sedangkan bersama Ita, ia hanya terbang bersama angan. Hanya rasa tanpa kepastian dan kenyataan.
Malam semakin larut. Ale meraih selimut dan memejamkan mata menembus alam mimpi.
Andi D Handoko
Layang layang

Raung suara menggelegar di tengah langit biru. Keras suaranya memecah keheningan angkasa yang telah lama tak terpeluk halilintar di musim hujan. Suara tersebut muncul dari ufuk timur dan mengarah ke barat. Dalam tajam indera manusia seolah suara itu mencari celah jalan di tengah luas langit semesta. Arakan awan turut menaungi suara untuk menemani perjalanannya dan membelah sunyi angkasa. Arakan awan terlihat semampai dengan putih warnanya. Menyeruak di dinding langit yang terpanggang sinar mentari. Jika di pandang dari kejauhan seperti lukisan alam yang menghiasi langit. Putihnya mengingatkan pikir untuk memandang putih melati di pagi hari.
Langkah sepasang kaki kecil lambat laun menjadi ayunan langkah yang cepat. Terlihat menjauh mengikuti arah suara itu akan menghilang. Terdengar soraknya dengan menengadahkan pandang ke arah angkasa. Jerit ceria tanda ia sedang gembira dengan apa yang di lakukannya. Tangan kanannya dilambai-lambaikan seperti riuh lambaian nyiur di pantai yang terhempas angin laut. Ia kemudian bereteriak,
“Pesawatku jangan tinggal pilotmu ini”
Langkah kecilnya kini melambat dan terkesan gontai karena letih berkejar dengan keinginannya. Ia kemudian ingat benda kesayangannnya telah ia tinggal di sebuah tempat karena ia terlalu gembira untuk berkejaran dengan langkah pesawat yang tak mungkin dikejarnya. Ia kemudian berbalik arah mencari apa yang ia tinggalkan. Sebuah layang layang tergeletak di bawah pohon kelapa lengkap dengan benang yang di gulung dalam sebuah potongan bambu. Layang layang itu segera diraihnya. Ia berlari ke arah lapang. Sebuah ladang yang tak tertanami karena musim kemarau datang. Tak ada air untuk irigasi.
Sebuah layang layang yang hampir sebesar tubuh kecil itu di pegangnya. Amir memegang gulungan dengan kuat dan mencoba menerbangkan layang layangnya. Tak sulit untuk menerbangkan layang layangnya. Angin yang cukup besar membantu dengan mendorongkan kekuatannya ke arah layang layang tersebut. Layang layang buatan ayahnya itu juga mudah untuk di terbangkan karena kepiwaian ayahnya yang memang ahli membuat layang layang. Terik mentari masih cukup menyengat. Tak berapa lama di keningnya mulai mengalir sebuah peluh. Hari yang masih panas begini rasanya masih terlalu dini untuk menerbangkan layang layang. Memang semangat Amir untuk bermain layang layang tak terhiraukan walau panas memanggang tubuh kecilnya.
Kini ia mengikatkan benang layangnya yang hampir habis gulungannya karena sudah menjulur ke langit untuk mewibawakan layang layang. Ia mengikatkan ke sebuah pohon turi yang tumbuh pada pematang. Ia menyandarkan tubuhnya pada kecil pohon turi. Sejenak kemudian dipandangnya layang layang yang telah diterbangkannya. Pandangannya kini menjauh ke sekelilingnya. Terlihat ayahnya dengan membawa sebilah sabit dan sebuah keranjang tempat makanan ternak. Ayahnya menyapa Amir dan menyuruhnya untuk meninggalkan layang-layangnya dan membantu dirinya untuk mencari daun-daun turi untuk persediaan makanan ternaknya. Tak berapa lama kemudian muncul anak-anak lain yang bermain layang-layang di tempat tersebut.
Senja telah menorehkan jingganya. Semburat surya memancar menandakan ia segera tenggelam dalam pelukan malam. Amir segera menggulung layang-layangnya dan bersiap untuk pulang. Ayahnya telah pulang dari tadi karena keranjangnya telah penuh. Tangan kecilnya begitu berat menggulung benang layangnya. Tekanan angin yang berhembus cukup kuat, namun akhirnya ia dapat menyelesaikannya. Langkahnya terayun meninggalkan tempat itu.
Sesampai di rumah, ia mendapati ayahnya sedang meraut sebilah bambu. Ayahnya hanya seorang petani kecil-kecilan, namun ia juga berprofesi sebagai pembuat layang-layang. Layang-layang yang dibuatnya memang cukup bagus dan seimbang ketika dimainkan. Kali ini Amir menatap ayahnya dengan tatapan aneh, terutama jika menatap apa yang dibuat oleh ayahnya. Mata ayah Amir yang menangkap tatapan aneh anaknya segera memberi penjelasan bahwa ia sedang membuat sebuah layang-layang yang luar biasa. Amir semakin dibuat aneh dan penasaran dengan apa yang dibuat ayahnya. Setelah di beri penjelasan oleh ayahnya secara detail maka ia pun mengetahuinya. Ayahnya sedang membuat sebuah layang-layang yang lain dari pada yang lain. Layang-layang ini mirip sebuah pesawat terbang dengan desain tiga dimensi. Ayah Amir mencoba membuatnya setelah ia melihat di sebuah berita di televisi yang menayangkan lomba layang-layang yang menggunakan layang-layang berbagai bentuk dan dimensi.
Ayah Amir memang cukup pengertian terhadap Amir. Ia tahu anaknya suka dengan pesawat, bahkan anaknya itu bercita-cita sebagai pilot. Sungguh hal yang sulit untuk di gapai untuk sekarang ini. Ekonomi keluarga pas-pasan. Mungkin jika kehidupan ekonomi keluarganya tak kunjung membaik, ia hanya dapat menyekolahkan Amir sampai tingkat SMP. Cita-cita Amir memang kuat. Ia suka sekali dengan pilot. Jika ada pesawat lewat, ia segera berlari keluar rumah dan meneriakkan ke arah pesawat itu berbagai kata-kata impiannya. Impiannya kini hanya sebatas ia bermain dengan layang-layangnya yang ia sering menghayalkannya sebagai pesawat.
Tak sampai dua hari layang-layang dengan bentuk pesawat itu pun telah selesai. Sungguh layng-layang yang indah. Bentuknya hampir serupa dengan bentuk pesawat yang sering dilihat Amir. Amir begitu senang dengan apa yang dibuat oleh ayahnya. Sayang, layang-layang itu selesai pada malam hari sehingga ia harus menunggu besok untuk menerbangkannya. Namun ia tak kecewa, ia segera mempersiapkan layang-layang itu agar besok langsung dapat diterbangkan. Ia mengambil segulung benang gelasan dan mengikatkannya pada titik dan bagian tertentu pada layang-layang tersebut sesuai petunjuk ayahnya. Ia sudah tak sabar menunggu hari esok.
Malam telah larut. Sudah saatnya insan-insan memejamkan mata dalam lelap malam. Begitu pula Amir yang lelah bermain layang-layang seharian. Matanya telah kantuk menginginkan terlelap. Layang-layang itu dibawa Amir ke dalam kamar. Di tempatkannya pada sudut kamar. Dipandangnya lagi layang-layangnya itu. Tampak senyum ceria di raut wajahnya. Ia beranjak ke tempat tidur. Kantuk semakin menyelimuti mata, namun tak juga terlelap. Pikirannya mulai menembus alam hayal. Berhayal kelak ia akan menjadi pilot yang handal. Lalu ia melirik layang-layang di sudut kamar. Sejenak layang-layang itu berubah menjadi pesawat yang besar. Mampu mengangkut puluhan bahkan ratusan penumpang. Ia duduk di kemudi pesawat dengan dibantu awaknya. Ia pacu pesawatnya dan lepas landas meninggalkan bandara. Sungguh hal yang membahagiakan. Ia terbang menyusuri awan putih yang hanya bisa di pandang insan-insan dari daratan. Terbang jauh di awang-awang. Amir tersenyum sendiri dengan perjalanan hayalnya. Malam bertambah larut. Senyum kecil itu menipis kemudian membawa si empunya terbang dalam lelap mimpi malam.
Pagi yang cerah dengan sejuk embun yang berkilau. Mata kecil itu terbuka dan langsung menatap ke arah sudut kamar. Senyum kecilnya mengembang setelah matanya menangkap gagah layang-layang berbentuk pesawat. Ia tak sabar ingin menerbangkannya. Namun ia ingat, ia harus mengerjakan tugasnya yakni sekolah. Sekolah sebagai pintu meraih cita. Sekarang ia duduk di kelas empat SD.
Rasanya lega setelah seharian bergelut dengan guru dan buku pelajaran di sekolah. Tak luput juga bekumpul dengan teman sebayanya.Amir bergegas pulang. Diambilnya makan siang. Siang begitu panas. Terdengar ayahnya memanggilnya. Ayahnya menyuruh untuk membeli bensin di warung bu Jono yang dekat dengan rumahnya. Bensin itu digunakan untuk mengencerkan lem yang digunakan untuk merekatkan kertas atau plastik pada kerangka layang-layang. Di butuhkan lem dengan daya rekat kuat.
Terik siang hari mulai mereda. Tangan kecil Amir membawa layang-layang yang siap untuk diterbangkan. Layang-layang tiga dimensi dengan bentuk pesawat. Namun tempat ia bermain layang-layang telah penuh oleh teman-temannya yang lain. Ia takut sulit untuk menerbangkan miliknya. Ia menghentikan langkahnya dan berpikir sejenak. Di halaman rumah pun jadi. Ia pun kembali ke rumah.
Di halaman rumahnya yang cukup luas, Amir menebangkan layang-layangnya. Cukup mudah menerbangkannya. Angin cukup kuat untuk mengangkat tinggi layang-layangnya. Layang-layang pesawat pun mengudara di tengah langit biru. Seraut wajah Amir tampak bangga. Ayahnya turut melihat dan memberi semangat.
Rasa puas memancar dari wajah Amir. Namun sepertinya ada yang masih kurang. Ide kreatifnya muncul. Di turunkannya lagi layang-layangnya. Ayahnya tak menghiraukan apa yang di lakukan oleh Amir karena sedang sibuk dengan layang-layang buatannya. Setelah laynag-layang itu turun, ia berlari ke arah samping rumah. Di san ada sebuah pohon keluwih yang cukup besar. Ia mencari sesuatu di sekelilingnya. Ia menemukannya. Sebuah kembang keluwih yang telah kering. Orang-orang sering menyebutnya dengan nama "babal". Ia memotongnya menjadi dua dan menyelipkannya pada dua sisi layang-layangnya. Di sulutnya kembang keluwih itu dengan korek api. Asap mengepul dari kedua sisi layang-layangnya.
Diterbangkannya lagi layang-layangnya. Seperti pesawat sungguhan yang mampu mengeluarkan asap. Ia berdecak puas dengan kreativitasnya. Ia menarik-narik benang layang untuk mengemudikannya. Namun secara tiba-tiba angin berhembus sangat kencang. Layang-layangnya menukik ke bawah. Hilang dari singgasana langit.
Angin kembali melambat. Ia melihat layang-layangnya jatuh di sekitar warung bu Jono. Ia menggulung benang layang seadanya dan berlari hendak mencari layang-layangnya. Belum jauh kakinya berlari, terdengar ledakan yang cukup kuat dari arah yang ia tuju. Tak berapa lama, orang-orang berlari dan berteriak, "kebakaran.....!!! kebakaran......!!!warung bu Jono kebakaran....!!!".


Surakarta, 27 April 2007



BIODATA

Nama : Andi Dwi Handoko
TTL : Wonogiri, 4 januari 1988
Alamat
Rumah : Sambeng RT02/01 Sedayu Pracimantoro Wonogiri.
Kos : Gulon RT05/21 Jebres Surakarta. HP : 085647363133
Lain-lain:
Senang menulis puisi, cerpen dan mencipta lagu.
Mahasiswa Program studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah FKIP UNS angkatan 2006.
Sekarang aktif di Teater Peron.