Kamis, 28 Agustus 2008

NYANYIAN PANTAI

Suara ombak riuh menerpa tegarnya karang. Menyapu lembut landai bibir pantai. Burung camar menari bersama hembusan angin. Terasa kencang sehingga sesekali sekawanan camar itu harus melemahkan sayap mengikuti arah angin. Hinggap di balik rimbun dedaunan dan menengadah ke langit biru. Sementara sekawanan lainnya masih riuh menelanjangi keindahan alam pantai.
Panas sang surya terasa menyengat tubuh, meskipun ia sudah mulai condong ke ufuk barat. Panasnya meresap di antara sendi kulit seolah hendak menggosongkannya. Sepasang insan menatap jauh mengitari samudera di hadapannya. Sesaat pandangan merreka turun menyusuri ombak berkejaran. Mereka duduk berdekatan di atas hitam karang yang kokoh di bibir pantai. Kepala masing-masing saling condong dengan arah berlawanan sehingga berdekatan dan saling menempel.
Angin mengiringi nyanyian itu. Hembusannya menjadfi musik pengiring alami. Bibir Alisa menari membentuk alunan lagu. Bait demi bait terlantunkan. Angin sesekali menyibak helaian rambutnya, namun ia tetap melantunkan iramanya. Tak terganggu tarian helai rambut di depan matanya. Suaranya begitu merdu. Syahdu meniti alam merindu.
Sementara Ale yang berada di sebelahnya terlihat menikmati alunan lagu tersebut. Alunan lagu dari Alisa terasa menyejukkan relung-relung jiwanya. Ale menyatukan perasaannya dengan keindahan suasana pantai dan alunan lagu Alisa. Mereka tak menghiraukan segelintir orang yang turut menikmati keindahan pantai. Suara anak tertawa riang bermain ombak terkadang menyela lagu yang masuk ke telinga Ale. Semua tak dapat mengusik bagaimana Ale menikmati syahdu alunan lagu Alisa.
Nyanyian itu berhenti. Kedua mata saling menatap. Berangsur-angsur tatapan itu menjauh. Kemudian memandang jauh ke lepas pantai. Lagu itu seperti hilang tertiup angin kemudian terukir di putih arakan awan. Atau mungkin juga alunan lagu tersebut hilang menelusup jauh di jiwa Ale.
Dalam hati Ale, ia memuji keindahan suara Alisa. Kebiasaan Ale hanya memuji seseorang dengan mulut terkunci. Ia tak suka memuji orang lain dengan terang-terangan. Entah itu sahabat terdekatnya sekalipun. Bisa di katakan sombong mungkin. Mereka terpaku satu sama lain. kebosanan menggelanyuti mereka. Bukan kebosanan menikmati lepas pantai tersebut, namun kebosanan yang menggiring hati mereka untuk lebih jauh menikmati pantai sekitar.
Keduanya beranjak berdiri. Mengikis langkah-langklah meninggalkan karang. Lembut pasir menggelitik kaki-kakinya. Bersama nyanyikan cerita-cerita lalu menghiasi langkahnya. Segenap rasa riang bersatu di perasaan mereka. Teringat akan kehidupan di sekolah lanjutan pertama. Di masa itu mulai perkenalan itu. Perkenalan yang memulai kisah-kisah kocak masa remaja. Canda tawa, saling ejek, bahkan saling bekerja sama untuk mencontek sewaktu ulangan. Memori otaknya masih mereka semuanya.
Bibir Alisa masih melantunkan kisah-kisah masa lalu. Kemudian di susul cerita Ale. Tawa terpecah di antaranya bersama riuh deburan ombak. Berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih dalam rajutan benang asmara. Sebenarnya mereka hanyalah sahabat dekat, namun mereka tak pernah bercakap-cakap mengenai isi hati. Mereka hanya bercerita tentang kehidupan sosialnya. Tak pernah muncul di antara cerita mereka tentang kisah cinta. Tak tahu satu sama lain siapa yang di cintai atau bahkan kekasih masing-masing. Suatu persahabatan yang terasa aneh.
Letih merajam kaki mereka. Sengatan mentari semakin meredup. Ale mengajak Alisa duduk di bawah rimbun pohon di tepi pantai. Mata Ale menatap tajam paras Alisa. "Cantik juga", gumamnya dalam hati. Mata Alisa menangkap tatapan itu. Tatapan Ale secepat kilat berlari dari binar mata yang menangkapnya. Senyum Alisa tersipu-sipu.
Rasa itu berdesir dalam dada Ale. Namun kata hatinya menangkap berlawanan. Hatinya masih terpatri dengan seorang bernama Ita. Kenyataan tak membuat pikiran Ale mengolahnya menjadi benar-benar nyata. Ita tak tahu rasa dalam hati Ale. Ale sendiri hanya merasakannya. Tak ada sebuah pengungkapan dan kepastian. Tak ada kisah kasih di antaranya. Hanya ada rasa satu arah dari hati Ale. Atau mungkin Ita merasakan hal yang sama dirasakan Ale. Semua tak bisa terjawab hanya dengan diam. Tanpa pengungkapan. Diam dan membisu dalam rasa yang sekian waktu terus merong-rong hati Ale. Dan menyisakan sebuah misteri.
Ale seakan tak sadar bahwa hubungannya dengan Alisa begitu dekat ibarat sepasang kekasih. Teman-teman Ale maupun Alisa sering kali berkeyakinan mereka telah menjadi sepasang kekasih. Semua itu hanya suara angin. Isu semata. Ale tak menyadari bahwa kisah kasihnya dengan Alisa begitu nyata. Ke mana-mana selalu bersama. Entah itu acara ulang tahun, perayaan tahun baru atau liburan selalu terlihat bersama-sama. Rasa tak mengikatnya atau memang belum tiba waktunya.
Angan Ale melayang menembus alam pikirnya. Ia berpikir jika Alisa menjadi kekasihnya. Muncul di tengah angan itu tentang sifat-sifat Alisa yang mungkin banyak bertentangan dengannya. Namun Ale sekiranya justru menyukai sifat-sifat yang bertentangan dengannya itu. Tiba-tiba pikirannya membentuk sebuah pertanyaan bagaimana asanya untuk melangkah meniti rasa hati bersama dengan Ita. Serasa semua masalah itu menumpuk menjejal seluruh alam pikirnya. Seakan hendak meledakkan otaknya.
"Le, Ale…..?Ale…?". suara Alisa begitu lembut untuk memecah lamunan Ale. Alisa melambai-lambaikan tangan kanannya di depan mata Ale. Ale pun tersigap. Ia menjauhkan lamunannya dan merespon suara Alisa. Alisa mengajaknya untuk pulang karena hari mulai beranjak petang. Ale beranjak dari duduknya. Tangan Ale menjulur ke arah Alisa yang merengek manja untuk membantunya berdiri. Rengekan manja, canda tawa serta senyum Alisa sering kali menggetarkan jantung Ale, walau bayangan Ita masih tetap menggelanyuti lubuk hatinya. Mereka berjalan berdampingan dengan tangan Ale masih mencengkerama tangan Alisa. Terasa romantis dengan warna senja yang mulai memarun. Tapi mereka bukan sepasang kekasih.
Langkah kaki mereka menjauh dari pantai. Mereka sudah mendapati motor Ale. Motor bebek biru yang selalu menemani Ale ke mana saja ia pergi. Alisa membonceng di belakang Ale. Tidak tampak sepasang kekasih. Alisa tak pernah mempererat boncengannya dengan Ale. Ia selalu menjaga jarak. Berbeda sekali dengan cewek-cewek lainnya. Walaupun bukan suami istri atau bahkan bukan kekasih, namun mereka berboncengan dengan pelukan yang erat.
Jalanan begitu sepi. Hanya satu atau dua kendaraan terkadang berpas-pasan dengan motor Ale. Ale mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Laju motor menjauh dari pantai. Namun semakin jauh, langit semakin hitam karena mendung. Rintik hujan pun turun. Langit semakin gelap oleh senja yang segera menjemput malam. Ale dan Alisa tetap meneruskan perjalanan walau dengan basah kuyup. Mereka bisa saja menunggu hujan reda, namun hari semakin gelap.
Ale tetap tenang mengendarai motor di jalanan yang licin. Sesekali ia menggigil karena kedinginan. Hempasan angin tak jarang membuat tubuh yang tak memakai jaket itu semakin menggigil. Sementara Alisa justru melepas jaket hitamnya. Kemudian mengenakan jaketnya di tubuh Ale. Tepatnya di dada Ale, jaket itu menempel di dada Ale dengan bantuan angin yang menghempas dari depan. Ale merasa hangat dengan jaket itu. Namun ale merasa perlakuan Alisa terhadapnya lebih hangat dari pada jaket itu. Hati Ale merasa nyaman, begitu besar perhatian Alisa terhadap Ale.
Ale mengantar Alisa sampai depan rumahnya. Ia tidak mampir dan langsung pamit untuk pulang. Saat ia berpamitan dan menjalankan motornya, Ale menatap Alisa yang melambaikan tangan disertai senyum manisnya. Ale membalas senyum itu dan berangsur-angsur menghilang di ujung jalan.
Tiga hari kemudian, Ale merasa bingung. Kemana rasa di hatinya berjalan. Alisa? Ita?. Dua insan yang memeluk hatinya. Hatinya terpagut akan rasa cinta pada Ita. Di sisi lain hatinya juga terpagut Alisa. Alisa selalu menghadirkan kisah-kisah yang berkesan dalam hatinya. Alisa sering berada di sisinya. Banyak waktu yang dihabiskan bersama Alisa. Sedangkan bersama Ita, ia hanya terbang bersama angan. Hanya rasa tanpa kepastian dan kenyataan.
Malam semakin larut. Ale meraih selimut dan memejamkan mata menembus alam mimpi.
Andi D Handoko
Layang layang

Raung suara menggelegar di tengah langit biru. Keras suaranya memecah keheningan angkasa yang telah lama tak terpeluk halilintar di musim hujan. Suara tersebut muncul dari ufuk timur dan mengarah ke barat. Dalam tajam indera manusia seolah suara itu mencari celah jalan di tengah luas langit semesta. Arakan awan turut menaungi suara untuk menemani perjalanannya dan membelah sunyi angkasa. Arakan awan terlihat semampai dengan putih warnanya. Menyeruak di dinding langit yang terpanggang sinar mentari. Jika di pandang dari kejauhan seperti lukisan alam yang menghiasi langit. Putihnya mengingatkan pikir untuk memandang putih melati di pagi hari.
Langkah sepasang kaki kecil lambat laun menjadi ayunan langkah yang cepat. Terlihat menjauh mengikuti arah suara itu akan menghilang. Terdengar soraknya dengan menengadahkan pandang ke arah angkasa. Jerit ceria tanda ia sedang gembira dengan apa yang di lakukannya. Tangan kanannya dilambai-lambaikan seperti riuh lambaian nyiur di pantai yang terhempas angin laut. Ia kemudian bereteriak,
“Pesawatku jangan tinggal pilotmu ini”
Langkah kecilnya kini melambat dan terkesan gontai karena letih berkejar dengan keinginannya. Ia kemudian ingat benda kesayangannnya telah ia tinggal di sebuah tempat karena ia terlalu gembira untuk berkejaran dengan langkah pesawat yang tak mungkin dikejarnya. Ia kemudian berbalik arah mencari apa yang ia tinggalkan. Sebuah layang layang tergeletak di bawah pohon kelapa lengkap dengan benang yang di gulung dalam sebuah potongan bambu. Layang layang itu segera diraihnya. Ia berlari ke arah lapang. Sebuah ladang yang tak tertanami karena musim kemarau datang. Tak ada air untuk irigasi.
Sebuah layang layang yang hampir sebesar tubuh kecil itu di pegangnya. Amir memegang gulungan dengan kuat dan mencoba menerbangkan layang layangnya. Tak sulit untuk menerbangkan layang layangnya. Angin yang cukup besar membantu dengan mendorongkan kekuatannya ke arah layang layang tersebut. Layang layang buatan ayahnya itu juga mudah untuk di terbangkan karena kepiwaian ayahnya yang memang ahli membuat layang layang. Terik mentari masih cukup menyengat. Tak berapa lama di keningnya mulai mengalir sebuah peluh. Hari yang masih panas begini rasanya masih terlalu dini untuk menerbangkan layang layang. Memang semangat Amir untuk bermain layang layang tak terhiraukan walau panas memanggang tubuh kecilnya.
Kini ia mengikatkan benang layangnya yang hampir habis gulungannya karena sudah menjulur ke langit untuk mewibawakan layang layang. Ia mengikatkan ke sebuah pohon turi yang tumbuh pada pematang. Ia menyandarkan tubuhnya pada kecil pohon turi. Sejenak kemudian dipandangnya layang layang yang telah diterbangkannya. Pandangannya kini menjauh ke sekelilingnya. Terlihat ayahnya dengan membawa sebilah sabit dan sebuah keranjang tempat makanan ternak. Ayahnya menyapa Amir dan menyuruhnya untuk meninggalkan layang-layangnya dan membantu dirinya untuk mencari daun-daun turi untuk persediaan makanan ternaknya. Tak berapa lama kemudian muncul anak-anak lain yang bermain layang-layang di tempat tersebut.
Senja telah menorehkan jingganya. Semburat surya memancar menandakan ia segera tenggelam dalam pelukan malam. Amir segera menggulung layang-layangnya dan bersiap untuk pulang. Ayahnya telah pulang dari tadi karena keranjangnya telah penuh. Tangan kecilnya begitu berat menggulung benang layangnya. Tekanan angin yang berhembus cukup kuat, namun akhirnya ia dapat menyelesaikannya. Langkahnya terayun meninggalkan tempat itu.
Sesampai di rumah, ia mendapati ayahnya sedang meraut sebilah bambu. Ayahnya hanya seorang petani kecil-kecilan, namun ia juga berprofesi sebagai pembuat layang-layang. Layang-layang yang dibuatnya memang cukup bagus dan seimbang ketika dimainkan. Kali ini Amir menatap ayahnya dengan tatapan aneh, terutama jika menatap apa yang dibuat oleh ayahnya. Mata ayah Amir yang menangkap tatapan aneh anaknya segera memberi penjelasan bahwa ia sedang membuat sebuah layang-layang yang luar biasa. Amir semakin dibuat aneh dan penasaran dengan apa yang dibuat ayahnya. Setelah di beri penjelasan oleh ayahnya secara detail maka ia pun mengetahuinya. Ayahnya sedang membuat sebuah layang-layang yang lain dari pada yang lain. Layang-layang ini mirip sebuah pesawat terbang dengan desain tiga dimensi. Ayah Amir mencoba membuatnya setelah ia melihat di sebuah berita di televisi yang menayangkan lomba layang-layang yang menggunakan layang-layang berbagai bentuk dan dimensi.
Ayah Amir memang cukup pengertian terhadap Amir. Ia tahu anaknya suka dengan pesawat, bahkan anaknya itu bercita-cita sebagai pilot. Sungguh hal yang sulit untuk di gapai untuk sekarang ini. Ekonomi keluarga pas-pasan. Mungkin jika kehidupan ekonomi keluarganya tak kunjung membaik, ia hanya dapat menyekolahkan Amir sampai tingkat SMP. Cita-cita Amir memang kuat. Ia suka sekali dengan pilot. Jika ada pesawat lewat, ia segera berlari keluar rumah dan meneriakkan ke arah pesawat itu berbagai kata-kata impiannya. Impiannya kini hanya sebatas ia bermain dengan layang-layangnya yang ia sering menghayalkannya sebagai pesawat.
Tak sampai dua hari layang-layang dengan bentuk pesawat itu pun telah selesai. Sungguh layng-layang yang indah. Bentuknya hampir serupa dengan bentuk pesawat yang sering dilihat Amir. Amir begitu senang dengan apa yang dibuat oleh ayahnya. Sayang, layang-layang itu selesai pada malam hari sehingga ia harus menunggu besok untuk menerbangkannya. Namun ia tak kecewa, ia segera mempersiapkan layang-layang itu agar besok langsung dapat diterbangkan. Ia mengambil segulung benang gelasan dan mengikatkannya pada titik dan bagian tertentu pada layang-layang tersebut sesuai petunjuk ayahnya. Ia sudah tak sabar menunggu hari esok.
Malam telah larut. Sudah saatnya insan-insan memejamkan mata dalam lelap malam. Begitu pula Amir yang lelah bermain layang-layang seharian. Matanya telah kantuk menginginkan terlelap. Layang-layang itu dibawa Amir ke dalam kamar. Di tempatkannya pada sudut kamar. Dipandangnya lagi layang-layangnya itu. Tampak senyum ceria di raut wajahnya. Ia beranjak ke tempat tidur. Kantuk semakin menyelimuti mata, namun tak juga terlelap. Pikirannya mulai menembus alam hayal. Berhayal kelak ia akan menjadi pilot yang handal. Lalu ia melirik layang-layang di sudut kamar. Sejenak layang-layang itu berubah menjadi pesawat yang besar. Mampu mengangkut puluhan bahkan ratusan penumpang. Ia duduk di kemudi pesawat dengan dibantu awaknya. Ia pacu pesawatnya dan lepas landas meninggalkan bandara. Sungguh hal yang membahagiakan. Ia terbang menyusuri awan putih yang hanya bisa di pandang insan-insan dari daratan. Terbang jauh di awang-awang. Amir tersenyum sendiri dengan perjalanan hayalnya. Malam bertambah larut. Senyum kecil itu menipis kemudian membawa si empunya terbang dalam lelap mimpi malam.
Pagi yang cerah dengan sejuk embun yang berkilau. Mata kecil itu terbuka dan langsung menatap ke arah sudut kamar. Senyum kecilnya mengembang setelah matanya menangkap gagah layang-layang berbentuk pesawat. Ia tak sabar ingin menerbangkannya. Namun ia ingat, ia harus mengerjakan tugasnya yakni sekolah. Sekolah sebagai pintu meraih cita. Sekarang ia duduk di kelas empat SD.
Rasanya lega setelah seharian bergelut dengan guru dan buku pelajaran di sekolah. Tak luput juga bekumpul dengan teman sebayanya.Amir bergegas pulang. Diambilnya makan siang. Siang begitu panas. Terdengar ayahnya memanggilnya. Ayahnya menyuruh untuk membeli bensin di warung bu Jono yang dekat dengan rumahnya. Bensin itu digunakan untuk mengencerkan lem yang digunakan untuk merekatkan kertas atau plastik pada kerangka layang-layang. Di butuhkan lem dengan daya rekat kuat.
Terik siang hari mulai mereda. Tangan kecil Amir membawa layang-layang yang siap untuk diterbangkan. Layang-layang tiga dimensi dengan bentuk pesawat. Namun tempat ia bermain layang-layang telah penuh oleh teman-temannya yang lain. Ia takut sulit untuk menerbangkan miliknya. Ia menghentikan langkahnya dan berpikir sejenak. Di halaman rumah pun jadi. Ia pun kembali ke rumah.
Di halaman rumahnya yang cukup luas, Amir menebangkan layang-layangnya. Cukup mudah menerbangkannya. Angin cukup kuat untuk mengangkat tinggi layang-layangnya. Layang-layang pesawat pun mengudara di tengah langit biru. Seraut wajah Amir tampak bangga. Ayahnya turut melihat dan memberi semangat.
Rasa puas memancar dari wajah Amir. Namun sepertinya ada yang masih kurang. Ide kreatifnya muncul. Di turunkannya lagi layang-layangnya. Ayahnya tak menghiraukan apa yang di lakukan oleh Amir karena sedang sibuk dengan layang-layang buatannya. Setelah laynag-layang itu turun, ia berlari ke arah samping rumah. Di san ada sebuah pohon keluwih yang cukup besar. Ia mencari sesuatu di sekelilingnya. Ia menemukannya. Sebuah kembang keluwih yang telah kering. Orang-orang sering menyebutnya dengan nama "babal". Ia memotongnya menjadi dua dan menyelipkannya pada dua sisi layang-layangnya. Di sulutnya kembang keluwih itu dengan korek api. Asap mengepul dari kedua sisi layang-layangnya.
Diterbangkannya lagi layang-layangnya. Seperti pesawat sungguhan yang mampu mengeluarkan asap. Ia berdecak puas dengan kreativitasnya. Ia menarik-narik benang layang untuk mengemudikannya. Namun secara tiba-tiba angin berhembus sangat kencang. Layang-layangnya menukik ke bawah. Hilang dari singgasana langit.
Angin kembali melambat. Ia melihat layang-layangnya jatuh di sekitar warung bu Jono. Ia menggulung benang layang seadanya dan berlari hendak mencari layang-layangnya. Belum jauh kakinya berlari, terdengar ledakan yang cukup kuat dari arah yang ia tuju. Tak berapa lama, orang-orang berlari dan berteriak, "kebakaran.....!!! kebakaran......!!!warung bu Jono kebakaran....!!!".


Surakarta, 27 April 2007



BIODATA

Nama : Andi Dwi Handoko
TTL : Wonogiri, 4 januari 1988
Alamat
Rumah : Sambeng RT02/01 Sedayu Pracimantoro Wonogiri.
Kos : Gulon RT05/21 Jebres Surakarta. HP : 085647363133
Lain-lain:
Senang menulis puisi, cerpen dan mencipta lagu.
Mahasiswa Program studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah FKIP UNS angkatan 2006.
Sekarang aktif di Teater Peron.
NYANYIAN PANTAI

Suara ombak riuh menerpa tegarnya karang. Menyapu lembut landai bibir pantai. Burung camar menari bersama hembusan angin. Terasa kencang sehingga sesekali sekawanan camar itu harus melemahkan sayap mengikuti arah angin. Hinggap di balik rimbun dedaunan dan menengadah ke langit biru. Sementara sekawanan lainnya masih riuh menelanjangi keindahan alam pantai.
Panas sang surya terasa menyengat tubuh, meskipun ia sudah mulai condong ke ufuk barat. Panasnya meresap di antara sendi kulit seolah hendak menggosongkannya. Sepasang insan menatap jauh mengitari samudera di hadapannya. Sesaat pandangan merreka turun menyusuri ombak berkejaran. Mereka duduk berdekatan di atas hitam karang yang kokoh di bibir pantai. Kepala masing-masing saling condong dengan arah berlawanan sehingga berdekatan dan saling menempel.
Angin mengiringi nyanyian itu. Hembusannya menjadfi musik pengiring alami. Bibir Alisa menari membentuk alunan lagu. Bait demi bait terlantunkan. Angin sesekali menyibak helaian rambutnya, namun ia tetap melantunkan iramanya. Tak terganggu tarian helai rambut di depan matanya. Suaranya begitu merdu. Syahdu meniti alam merindu.
Sementara Ale yang berada di sebelahnya terlihat menikmati alunan lagu tersebut. Alunan lagu dari Alisa terasa menyejukkan relung-relung jiwanya. Ale menyatukan perasaannya dengan keindahan suasana pantai dan alunan lagu Alisa. Mereka tak menghiraukan segelintir orang yang turut menikmati keindahan pantai. Suara anak tertawa riang bermain ombak terkadang menyela lagu yang masuk ke telinga Ale. Semua tak dapat mengusik bagaimana Ale menikmati syahdu alunan lagu Alisa.
Nyanyian itu berhenti. Kedua mata saling menatap. Berangsur-angsur tatapan itu menjauh. Kemudian memandang jauh ke lepas pantai. Lagu itu seperti hilang tertiup angin kemudian terukir di putih arakan awan. Atau mungkin juga alunan lagu tersebut hilang menelusup jauh di jiwa Ale.
Dalam hati Ale, ia memuji keindahan suara Alisa. Kebiasaan Ale hanya memuji seseorang dengan mulut terkunci. Ia tak suka memuji orang lain dengan terang-terangan. Entah itu sahabat terdekatnya sekalipun. Bisa di katakan sombong mungkin. Mereka terpaku satu sama lain. kebosanan menggelanyuti mereka. Bukan kebosanan menikmati lepas pantai tersebut, namun kebosanan yang menggiring hati mereka untuk lebih jauh menikmati pantai sekitar.
Keduanya beranjak berdiri. Mengikis langkah-langklah meninggalkan karang. Lembut pasir menggelitik kaki-kakinya. Bersama nyanyikan cerita-cerita lalu menghiasi langkahnya. Segenap rasa riang bersatu di perasaan mereka. Teringat akan kehidupan di sekolah lanjutan pertama. Di masa itu mulai perkenalan itu. Perkenalan yang memulai kisah-kisah kocak masa remaja. Canda tawa, saling ejek, bahkan saling bekerja sama untuk mencontek sewaktu ulangan. Memori otaknya masih mereka semuanya.
Bibir Alisa masih melantunkan kisah-kisah masa lalu. Kemudian di susul cerita Ale. Tawa terpecah di antaranya bersama riuh deburan ombak. Berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih dalam rajutan benang asmara. Sebenarnya mereka hanyalah sahabat dekat, namun mereka tak pernah bercakap-cakap mengenai isi hati. Mereka hanya bercerita tentang kehidupan sosialnya. Tak pernah muncul di antara cerita mereka tentang kisah cinta. Tak tahu satu sama lain siapa yang di cintai atau bahkan kekasih masing-masing. Suatu persahabatan yang terasa aneh.
Letih merajam kaki mereka. Sengatan mentari semakin meredup. Ale mengajak Alisa duduk di bawah rimbun pohon di tepi pantai. Mata Ale menatap tajam paras Alisa. "Cantik juga", gumamnya dalam hati. Mata Alisa menangkap tatapan itu. Tatapan Ale secepat kilat berlari dari binar mata yang menangkapnya. Senyum Alisa tersipu-sipu.
Rasa itu berdesir dalam dada Ale. Namun kata hatinya menangkap berlawanan. Hatinya masih terpatri dengan seorang bernama Ita. Kenyataan tak membuat pikiran Ale mengolahnya menjadi benar-benar nyata. Ita tak tahu rasa dalam hati Ale. Ale sendiri hanya merasakannya. Tak ada sebuah pengungkapan dan kepastian. Tak ada kisah kasih di antaranya. Hanya ada rasa satu arah dari hati Ale. Atau mungkin Ita merasakan hal yang sama dirasakan Ale. Semua tak bisa terjawab hanya dengan diam. Tanpa pengungkapan. Diam dan membisu dalam rasa yang sekian waktu terus merong-rong hati Ale. Dan menyisakan sebuah misteri.
Ale seakan tak sadar bahwa hubungannya dengan Alisa begitu dekat ibarat sepasang kekasih. Teman-teman Ale maupun Alisa sering kali berkeyakinan mereka telah menjadi sepasang kekasih. Semua itu hanya suara angin. Isu semata. Ale tak menyadari bahwa kisah kasihnya dengan Alisa begitu nyata. Ke mana-mana selalu bersama. Entah itu acara ulang tahun, perayaan tahun baru atau liburan selalu terlihat bersama-sama. Rasa tak mengikatnya atau memang belum tiba waktunya.
Angan Ale melayang menembus alam pikirnya. Ia berpikir jika Alisa menjadi kekasihnya. Muncul di tengah angan itu tentang sifat-sifat Alisa yang mungkin banyak bertentangan dengannya. Namun Ale sekiranya justru menyukai sifat-sifat yang bertentangan dengannya itu. Tiba-tiba pikirannya membentuk sebuah pertanyaan bagaimana asanya untuk melangkah meniti rasa hati bersama dengan Ita. Serasa semua masalah itu menumpuk menjejal seluruh alam pikirnya. Seakan hendak meledakkan otaknya.
"Le, Ale…..?Ale…?". suara Alisa begitu lembut untuk memecah lamunan Ale. Alisa melambai-lambaikan tangan kanannya di depan mata Ale. Ale pun tersigap. Ia menjauhkan lamunannya dan merespon suara Alisa. Alisa mengajaknya untuk pulang karena hari mulai beranjak petang. Ale beranjak dari duduknya. Tangan Ale menjulur ke arah Alisa yang merengek manja untuk membantunya berdiri. Rengekan manja, canda tawa serta senyum Alisa sering kali menggetarkan jantung Ale, walau bayangan Ita masih tetap menggelanyuti lubuk hatinya. Mereka berjalan berdampingan dengan tangan Ale masih mencengkerama tangan Alisa. Terasa romantis dengan warna senja yang mulai memarun. Tapi mereka bukan sepasang kekasih.
Langkah kaki mereka menjauh dari pantai. Mereka sudah mendapati motor Ale. Motor bebek biru yang selalu menemani Ale ke mana saja ia pergi. Alisa membonceng di belakang Ale. Tidak tampak sepasang kekasih. Alisa tak pernah mempererat boncengannya dengan Ale. Ia selalu menjaga jarak. Berbeda sekali dengan cewek-cewek lainnya. Walaupun bukan suami istri atau bahkan bukan kekasih, namun mereka berboncengan dengan pelukan yang erat.
Jalanan begitu sepi. Hanya satu atau dua kendaraan terkadang berpas-pasan dengan motor Ale. Ale mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Laju motor menjauh dari pantai. Namun semakin jauh, langit semakin hitam karena mendung. Rintik hujan pun turun. Langit semakin gelap oleh senja yang segera menjemput malam. Ale dan Alisa tetap meneruskan perjalanan walau dengan basah kuyup. Mereka bisa saja menunggu hujan reda, namun hari semakin gelap.
Ale tetap tenang mengendarai motor di jalanan yang licin. Sesekali ia menggigil karena kedinginan. Hempasan angin tak jarang membuat tubuh yang tak memakai jaket itu semakin menggigil. Sementara Alisa justru melepas jaket hitamnya. Kemudian mengenakan jaketnya di tubuh Ale. Tepatnya di dada Ale, jaket itu menempel di dada Ale dengan bantuan angin yang menghempas dari depan. Ale merasa hangat dengan jaket itu. Namun ale merasa perlakuan Alisa terhadapnya lebih hangat dari pada jaket itu. Hati Ale merasa nyaman, begitu besar perhatian Alisa terhadap Ale.
Ale mengantar Alisa sampai depan rumahnya. Ia tidak mampir dan langsung pamit untuk pulang. Saat ia berpamitan dan menjalankan motornya, Ale menatap Alisa yang melambaikan tangan disertai senyum manisnya. Ale membalas senyum itu dan berangsur-angsur menghilang di ujung jalan.
Tiga hari kemudian, Ale merasa bingung. Kemana rasa di hatinya berjalan. Alisa? Ita?. Dua insan yang memeluk hatinya. Hatinya terpagut akan rasa cinta pada Ita. Di sisi lain hatinya juga terpagut Alisa. Alisa selalu menghadirkan kisah-kisah yang berkesan dalam hatinya. Alisa sering berada di sisinya. Banyak waktu yang dihabiskan bersama Alisa. Sedangkan bersama Ita, ia hanya terbang bersama angan. Hanya rasa tanpa kepastian dan kenyataan.
Malam semakin larut. Ale meraih selimut dan memejamkan mata menembus alam mimpi.
Andi D Handoko