Kamis, 28 Agustus 2008

NYANYIAN PANTAI

Suara ombak riuh menerpa tegarnya karang. Menyapu lembut landai bibir pantai. Burung camar menari bersama hembusan angin. Terasa kencang sehingga sesekali sekawanan camar itu harus melemahkan sayap mengikuti arah angin. Hinggap di balik rimbun dedaunan dan menengadah ke langit biru. Sementara sekawanan lainnya masih riuh menelanjangi keindahan alam pantai.
Panas sang surya terasa menyengat tubuh, meskipun ia sudah mulai condong ke ufuk barat. Panasnya meresap di antara sendi kulit seolah hendak menggosongkannya. Sepasang insan menatap jauh mengitari samudera di hadapannya. Sesaat pandangan merreka turun menyusuri ombak berkejaran. Mereka duduk berdekatan di atas hitam karang yang kokoh di bibir pantai. Kepala masing-masing saling condong dengan arah berlawanan sehingga berdekatan dan saling menempel.
Angin mengiringi nyanyian itu. Hembusannya menjadfi musik pengiring alami. Bibir Alisa menari membentuk alunan lagu. Bait demi bait terlantunkan. Angin sesekali menyibak helaian rambutnya, namun ia tetap melantunkan iramanya. Tak terganggu tarian helai rambut di depan matanya. Suaranya begitu merdu. Syahdu meniti alam merindu.
Sementara Ale yang berada di sebelahnya terlihat menikmati alunan lagu tersebut. Alunan lagu dari Alisa terasa menyejukkan relung-relung jiwanya. Ale menyatukan perasaannya dengan keindahan suasana pantai dan alunan lagu Alisa. Mereka tak menghiraukan segelintir orang yang turut menikmati keindahan pantai. Suara anak tertawa riang bermain ombak terkadang menyela lagu yang masuk ke telinga Ale. Semua tak dapat mengusik bagaimana Ale menikmati syahdu alunan lagu Alisa.
Nyanyian itu berhenti. Kedua mata saling menatap. Berangsur-angsur tatapan itu menjauh. Kemudian memandang jauh ke lepas pantai. Lagu itu seperti hilang tertiup angin kemudian terukir di putih arakan awan. Atau mungkin juga alunan lagu tersebut hilang menelusup jauh di jiwa Ale.
Dalam hati Ale, ia memuji keindahan suara Alisa. Kebiasaan Ale hanya memuji seseorang dengan mulut terkunci. Ia tak suka memuji orang lain dengan terang-terangan. Entah itu sahabat terdekatnya sekalipun. Bisa di katakan sombong mungkin. Mereka terpaku satu sama lain. kebosanan menggelanyuti mereka. Bukan kebosanan menikmati lepas pantai tersebut, namun kebosanan yang menggiring hati mereka untuk lebih jauh menikmati pantai sekitar.
Keduanya beranjak berdiri. Mengikis langkah-langklah meninggalkan karang. Lembut pasir menggelitik kaki-kakinya. Bersama nyanyikan cerita-cerita lalu menghiasi langkahnya. Segenap rasa riang bersatu di perasaan mereka. Teringat akan kehidupan di sekolah lanjutan pertama. Di masa itu mulai perkenalan itu. Perkenalan yang memulai kisah-kisah kocak masa remaja. Canda tawa, saling ejek, bahkan saling bekerja sama untuk mencontek sewaktu ulangan. Memori otaknya masih mereka semuanya.
Bibir Alisa masih melantunkan kisah-kisah masa lalu. Kemudian di susul cerita Ale. Tawa terpecah di antaranya bersama riuh deburan ombak. Berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih dalam rajutan benang asmara. Sebenarnya mereka hanyalah sahabat dekat, namun mereka tak pernah bercakap-cakap mengenai isi hati. Mereka hanya bercerita tentang kehidupan sosialnya. Tak pernah muncul di antara cerita mereka tentang kisah cinta. Tak tahu satu sama lain siapa yang di cintai atau bahkan kekasih masing-masing. Suatu persahabatan yang terasa aneh.
Letih merajam kaki mereka. Sengatan mentari semakin meredup. Ale mengajak Alisa duduk di bawah rimbun pohon di tepi pantai. Mata Ale menatap tajam paras Alisa. "Cantik juga", gumamnya dalam hati. Mata Alisa menangkap tatapan itu. Tatapan Ale secepat kilat berlari dari binar mata yang menangkapnya. Senyum Alisa tersipu-sipu.
Rasa itu berdesir dalam dada Ale. Namun kata hatinya menangkap berlawanan. Hatinya masih terpatri dengan seorang bernama Ita. Kenyataan tak membuat pikiran Ale mengolahnya menjadi benar-benar nyata. Ita tak tahu rasa dalam hati Ale. Ale sendiri hanya merasakannya. Tak ada sebuah pengungkapan dan kepastian. Tak ada kisah kasih di antaranya. Hanya ada rasa satu arah dari hati Ale. Atau mungkin Ita merasakan hal yang sama dirasakan Ale. Semua tak bisa terjawab hanya dengan diam. Tanpa pengungkapan. Diam dan membisu dalam rasa yang sekian waktu terus merong-rong hati Ale. Dan menyisakan sebuah misteri.
Ale seakan tak sadar bahwa hubungannya dengan Alisa begitu dekat ibarat sepasang kekasih. Teman-teman Ale maupun Alisa sering kali berkeyakinan mereka telah menjadi sepasang kekasih. Semua itu hanya suara angin. Isu semata. Ale tak menyadari bahwa kisah kasihnya dengan Alisa begitu nyata. Ke mana-mana selalu bersama. Entah itu acara ulang tahun, perayaan tahun baru atau liburan selalu terlihat bersama-sama. Rasa tak mengikatnya atau memang belum tiba waktunya.
Angan Ale melayang menembus alam pikirnya. Ia berpikir jika Alisa menjadi kekasihnya. Muncul di tengah angan itu tentang sifat-sifat Alisa yang mungkin banyak bertentangan dengannya. Namun Ale sekiranya justru menyukai sifat-sifat yang bertentangan dengannya itu. Tiba-tiba pikirannya membentuk sebuah pertanyaan bagaimana asanya untuk melangkah meniti rasa hati bersama dengan Ita. Serasa semua masalah itu menumpuk menjejal seluruh alam pikirnya. Seakan hendak meledakkan otaknya.
"Le, Ale…..?Ale…?". suara Alisa begitu lembut untuk memecah lamunan Ale. Alisa melambai-lambaikan tangan kanannya di depan mata Ale. Ale pun tersigap. Ia menjauhkan lamunannya dan merespon suara Alisa. Alisa mengajaknya untuk pulang karena hari mulai beranjak petang. Ale beranjak dari duduknya. Tangan Ale menjulur ke arah Alisa yang merengek manja untuk membantunya berdiri. Rengekan manja, canda tawa serta senyum Alisa sering kali menggetarkan jantung Ale, walau bayangan Ita masih tetap menggelanyuti lubuk hatinya. Mereka berjalan berdampingan dengan tangan Ale masih mencengkerama tangan Alisa. Terasa romantis dengan warna senja yang mulai memarun. Tapi mereka bukan sepasang kekasih.
Langkah kaki mereka menjauh dari pantai. Mereka sudah mendapati motor Ale. Motor bebek biru yang selalu menemani Ale ke mana saja ia pergi. Alisa membonceng di belakang Ale. Tidak tampak sepasang kekasih. Alisa tak pernah mempererat boncengannya dengan Ale. Ia selalu menjaga jarak. Berbeda sekali dengan cewek-cewek lainnya. Walaupun bukan suami istri atau bahkan bukan kekasih, namun mereka berboncengan dengan pelukan yang erat.
Jalanan begitu sepi. Hanya satu atau dua kendaraan terkadang berpas-pasan dengan motor Ale. Ale mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Laju motor menjauh dari pantai. Namun semakin jauh, langit semakin hitam karena mendung. Rintik hujan pun turun. Langit semakin gelap oleh senja yang segera menjemput malam. Ale dan Alisa tetap meneruskan perjalanan walau dengan basah kuyup. Mereka bisa saja menunggu hujan reda, namun hari semakin gelap.
Ale tetap tenang mengendarai motor di jalanan yang licin. Sesekali ia menggigil karena kedinginan. Hempasan angin tak jarang membuat tubuh yang tak memakai jaket itu semakin menggigil. Sementara Alisa justru melepas jaket hitamnya. Kemudian mengenakan jaketnya di tubuh Ale. Tepatnya di dada Ale, jaket itu menempel di dada Ale dengan bantuan angin yang menghempas dari depan. Ale merasa hangat dengan jaket itu. Namun ale merasa perlakuan Alisa terhadapnya lebih hangat dari pada jaket itu. Hati Ale merasa nyaman, begitu besar perhatian Alisa terhadap Ale.
Ale mengantar Alisa sampai depan rumahnya. Ia tidak mampir dan langsung pamit untuk pulang. Saat ia berpamitan dan menjalankan motornya, Ale menatap Alisa yang melambaikan tangan disertai senyum manisnya. Ale membalas senyum itu dan berangsur-angsur menghilang di ujung jalan.
Tiga hari kemudian, Ale merasa bingung. Kemana rasa di hatinya berjalan. Alisa? Ita?. Dua insan yang memeluk hatinya. Hatinya terpagut akan rasa cinta pada Ita. Di sisi lain hatinya juga terpagut Alisa. Alisa selalu menghadirkan kisah-kisah yang berkesan dalam hatinya. Alisa sering berada di sisinya. Banyak waktu yang dihabiskan bersama Alisa. Sedangkan bersama Ita, ia hanya terbang bersama angan. Hanya rasa tanpa kepastian dan kenyataan.
Malam semakin larut. Ale meraih selimut dan memejamkan mata menembus alam mimpi.
Andi D Handoko

Tidak ada komentar: