Minggu, 30 November 2008

JUWITA
Oleh: Dwiha

“ Apa yang kau sembunyikan di balik punggungmu, Sayang?” tanya Mama Juwita curiga pada gerak-gerik putri kesayangannya.
“ Aku tidak menyembunyikan apa-apa, Ma.” Jawab Juwita tenang.
“ Kalau begitu jangan taruh tanganmu di belakang punggung. Orang Jawa bilang itu mbondo tangan yang artinya menggendong setan!” pinta Mamanya. Juwita terdiam.
“ Jangan bilang kau menyembunyikan setan dalam tanganmu, Nak?” selidik Mamanya. Juwita menggeleng.
“ Lalu?” Mamanya mendesak. Pelan-pelan Juwita menggerakkan tangannya. Ia ulurkan ke depan agar bisa terlihat oleh Mamanya.
“ Aku membawa belati, Ma.” Aku Juwita. Mamanya terperanjat.
“ Itu pisau, Nak!”
“ Boleh kan jika kuanggap ini belati?”
“ Jangan bermain-main dengan pisau, nanti kau sendiri yang tercincang!” Mama Juwita mengingatkan. Juwita tidak menggubris perkataan Mamanya. Matanya tajam tertancap pada sebilah pisau yang digenggamnya. Ngeri, penuh amarah, dan benci.
“ Apa yang akan kau lakukan dengan pisau itu?”
“ Belati, Ma! Sudah kubilang ini belati!”
“ Mama bertanya apa yang akan kau lakukan dengan benda itu?” Mama Juwita mengulangi pertanyaannya.
“ Membunuh suami Mama!” jawab Juwita dingin.
“ Mama tidak punya suami!”
“ Sebelum aku lahir?”
“ Bahkan sebelum kau terlahir!” tegas Mama Juwita. Juwita melenguh,
“ Mama tidak punya suami. Aku juga tidak punya Papa. Lantas ia disebut apa, Ma?”
“ Laki-laki.”
“ Baiklah! Kalau begitu aku akan membunuh laki-laki!!” kata Juwita mantap.
Lantas Juwita berlari ke luar rumah. Ia berlari cepat dan semakin cepat. Ia tak peduli pada teriakan Mamanya yang memanggil putri semata wayangnya itu untuk kembali. Akhirnya, Mama Juwita memutuskan untuk mengikuti ke mana Juwita berlari. Ia bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah anaknya telah menjadi gila? Setan apa yang telah merasukinya? Apa yang menyebabkannya jadi gila? Tidak! Bantahnya sendiri. Anakku tidak gila, pikirnya.
Juwita adalah seorang kanak-kanak yang beranjak remaja. Tubuhnya ranum dan segar. Ia begitu lincah dan berani. Ia kini berlari dengan gagah layaknya ksatria berkuda ketika perang. Juwita terus menerus meneriaki para lelaki.
“ Laki-laki, siapakah yang menyebabkan aku lahir ke dunia? Laki-laki, terlaknatlah aku jika tidak menghukum pembunuh Mamaku! Laki-laki, aku menantangmu! Penuhilah tantangan Juwita ini!”
Juwita terus berteriak-teriak. Ia berlari melewati pasar-pasar yang penuh sesak dengan orang-orang. Ia berlari di dalam mall-mall yang menjulang, menembusnya hingga sampai lapangan golf, lalu menuju ruang sidang para pejabat yang udaranya angkuh dingin. Ia terus berteriak, menantang para lelaki yang dilewatinya. Juwita terus berlari. Ia melabrak ruang-ruang di mana para lelaki biasa berkerumun menertawakan perempuan.
Bagai sekelompok laron dari kegelapan yang mencari cahaya, para lelaki yang merasa terhina menyerbu Juwita dengan ganasnya. Juwita tidak tampak ketakutan. Ia justru berhenti di sebuah lapangan yang luas, segera mengenakan jubah kebesarannya dan tersenyum penuh kemenangan. Ia menghadang para lelaki itu dengan berkacak pinggang.
“ Baguslah para lelaki memenuhi undanganku!” gumamnya sombong.
“ Juwita, apa yang kau lakukan ini sungguh-sungguh tidak sopan?” protes para lelaki.
“ Kau pikir menghamili Mamaku lantas membunuhnya itu disebut sopan?!” balas Juwita.
“ Tidak ada yang menghamili dan membunuh Mamamu di antara kami.” Jawab para lelaki.
Juwita tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban tersebut.
“ Jadi kalian ini gay, atau…kalian tidak punya lagi kelamin yang membanggakan itu? Atau…istana phallus telah runtuh tersambar petir? Lalu kenapa kalian masih juga berjaya dan berpesta pora? Atau sekarang kalian ini banci yang sedang mempecundangi diri sendiri?”
“ Cukup celotehmu, Juwita!”
“ Belum cukup! Sudah berabad-abad dan belum juga kau pahami bibir perempuan. Baiklah, aku harus membunuh laki-laki!”
“ Kami bukan Papamu!” teriak para lelaki.
“ Papa? Aku tidak punya Papa!”
Di tengah-tengah perdebatan itu, muncullah Mama Juwita yang terengah-engah menuju kerumunan.
“ Juwita, lihatlah itu Mamamu, tidak ada yang membunuhnya!” teriak seorang laki-laki.
“ Ooh… jadi tidak ada yang membunuhnya? Lantas siapa yang setiap malam netek di putting perempuan dan menghisap hangat tubuhnya hingga lahirlah anak haram?” teriak Juwita geram.
“ Juwita, mereka tidak harus bertanggung jawab terhadap perkosaan itu. Jangan menuntut tentang dosa yang tidak terlaksana!” Mama Juwita turut berbicara.
“ Mama ingin bilang kalau Mama memperkosa diri sendiri? Lalu mengapa Mama menjelma mayat hidup? Ada dendam di hati Mama yang setiap saat berlalu menggerogoti akal warasku, dan sekarang Mama bilang para lelaki tidak bersalah?” Juwita memprotes, kemudian ia kembali bicara,
“ Salah satu di antara mereka telah memperkosa Mama, sebagian dari mereka telah memperkosa istri-istri nya, sebagian lagi memperkosa perawan-perawan hingga dinista, sebagian lagi, telah memm-perr-koo-saa-ku, Mama!”Juwita mengerang, ia lantas melanjutkan,
“ Akan tetapi aku tidak menuntut perkosaan atas diriku. Aku tidak bisa dinista sebab aku memiliki nilai hakiki perempuan, tanpa keperawanan aku masih memiliki kekuatan tiada tara untuk membangun kehidupan. Aku tidak punya air mata untuk ditumpahkan. Mama telah merampas air mataku, hatiku, dan pikiranku. Aku telah menyerahkan diriku untuk Mama yang tiap malam mengutuki nasib.”
“ Nasib tidak bisa dilawan, Sayang!” ucap Mamanya.
“ Bukan nasib, Ma! Ini perjalanan. Seburuk apa pun, jika ia jalan maka layak untuk dijalani. Tidak ada yang tercipta untuk sia-sia.”
“Lalu kenapa kau hendak membunuh kami?” teriak para lelaki.
“ Sebab lelaki telah menjadi belatung yang menjijikkan!”
“ Tidak semuanya seperti itu.” para lelaki membela diri.
“ Lantas mengapa tidak ada yang mengaku?”
“ Mengaku apa? Perkosaan? Kami tidak memperkosa. Para perempuanlah yang butuh diperkosa sehingga mereka menjebak kami dalam kamar-kamarnya. Apa kau tidak menyadari, Juwita? Sebagaimana dirimu, perempuan perkasa, kamilah para lelaki yang sebenarnya terjajah!”
“ Dasar pecundang!” Juwita menyumpah.
“ Bagaimana kami tidak jadi pecundang ? Para perempuan memiliki bisa beracun dalam mulutnya. Sekali mereka julurkan lidahnya, maka matilah kami.” Aku para lelaki mengiba. Juwita tersenyum lebar dan dingin. Ia memandang ke arah Mamanya dan berbicara dengan nada yang lunak,
“ Mama, mereka telah mengakui bahwa mereka adalah pecundang, masihkah Mama punya dendam?”
“ Laki-laki itu lamis jika bicara pada perempuan, Juwita. Jika kau lengah, kekuasaan mereka akan melibasmu sampai kau lebur bersisa debu.” Jawab Mama Juwita.
“ Kalian dengar apa kata Mamaku?”
“ Lalu apa yang kau inginkan dari kami?” tanya para lelaki.
“ Memenggal kepala kalian satu per satu dengan belatiku.” Kata Juwita dingin dan anggun. Juwita berdiri di atas mimbar kekuasaan didampingi Mamanya. Sementara para lelaki bertekuk lutut dan memohon pengampunan. Mama Juwita gelisah. Sebentar-sebentar ia memandang para lelaki, lalu pada putrinya. Tidak seharusnya Juwita menginjak-injak kodrat karena dendam dalam hatiku, pikirnya. Lalu Mama Juwita berkata,
“ Juwita, tidakkah kau merasa takjub atas semua ini? Laki-laki bersujud pada perempuan, lantas di mana perempuan harus menempatkan dirinya?”
“ Mama yang menentukan di mana perempuan harus duduk.”
“ Emansipasi perempuan sudah kelewatan jika begini.” Gerutu Mama Juwita.
“ Mama plin-plan!” cibir Juwita.
“ Feminismemu terlalu arogan, Sayang. Simpanlah pisaumu dan menikahlah dengan laki-laki!”
“ Menikah? Laki-laki?”Juwita ternganga.
“ Memenjarakan laki-laki dalam aturan dan rumahmu. Itulah jalurnya!”
“ Mereka akan menetek di putting susuku sampai kempes!” Juwita ngeri.
“ Reguklah surga daripadanya!”
“ Mama percaya cinta rupanya, lihatlah para lelaki itu mencibir mendengar perkataan Mama.”
“ Hei, Nak, Mama punya ide. Kemarilah!” Mama Juwita kemudian membisikinya sesuatu. Juwita tersenyum menyetujui. Dalam sekejap Mama Juwita meninggalkan Juwita beserta kerumunan lelaki yang tengah bersimpuh itu.
“ Juwita, kau akan tetap memenggal kepala kami?” tanya para lelaki. Juwita menggeleng dan tersenyum licik.
“ Tidak. Aku akan menyimpan belatiku.” Jawab Juwita.
“ Berarti kau tidak akan mempermalukan dan memusuhi kami lagi?”
“ Tidak juga!”
“ Ayolah, Sayang, apa yang sebenarnya akan kau lakukan pada kami?”
Juwita menyeringai. Wajahnya memerah bagai kulit bayi kepanasan. Ia menunjuk satu arah. Mamanya datang kembali bersamaan munculnya segerombolan perempuan yang tertawa cekikikan, malu-malu tapi nakal. Tawa cekikikan yang berisik dan melengking-lengking memenuhi lapangan luas itu, sampai-sampai para lelaki harus menutup telinganya untuk menghindari suara-suara itu.
“ Lihatlah, Juwita, belum-belum para lelaki itu sudah tersiksa. “ ucap Mamanya. Juwita tersenyum penuh kepuasan. Ia lantas berpidato dengan lantang,
“ Wahai kaumku, para perempuan, lihatlah para lelaki di hadapan kita ini. Barusan mereka berkata bahwa perempuan menyimpan bisa beracun dalam mulutnya, maka julurkan lidah kalian sampai tubuh mereka membiru dan tak berdaya. Renggutlah kekuasaan, surga, dan cinta mereka dalam aturan dan rumahmu. Tumpahkanlah segala kasih sayang dan sumpah serapahmu atas mereka.” Teriak Juwita dalam gegap gempita.
Serentak para perempuan menyerbu dan memburu ke dalam kerumunan laki-laki. Mereka menjulurkan lidahnya dan menjerat laki-laki dalam pelukan mereka yang penuh kepasrahan, kebencian, cinta, serapah, dan kasih sayang.
“ Tuhan memberkatimu, Anakku!” kata Mama Juwita. Mereka berdua saling tersenyum dan berpelukan.
“ Sekarang berikan pisau itu, Sayang. Mama membutuhkannya untuk memasak!” kata Mamanya lagi. Juwita memandang benda tajam itu lama-lama seakan-akan tidak rela melepasnya,
“ Ini belati, Ma!”
“ Mama butuh memasak!”
Juwita diam dan berpikir, ia tercenung beberapa waktu,
“ Baiklah, aku kelaparan, Mama.”

(21 Agustus 2006)

Tidak ada komentar: