Minggu, 30 November 2008

I LOVE YOU, CLAIRE!
Oleh : Dwiha

“Jika sekarang sebagian belahan dunia sedang berperang, mungkin sekali leluhur manusia dulu juga berperang. Manusia di planet bumi ini bermilyar jumlahnya terbagi dalam berbagai suku, ras, etnis dan agama yang berbeda-beda. Namun masih tetap terus tumbuh dan berbiak. Mungkin sekali leluhur manusia dulu juga saling berjabat tangan, saling mengasihi dan akhirnya beranak pinak. Ada yang punah dan ada yang bertahan hidup. Kita berasal dari orang tua yang jamak, leluhur yang jamak. Namun siapa leluhur dari leluhur kita? Tidakkah ia satu, lantas menyempal iganya, dan Tuhan memberinya hidup sehingga jadi Hawa? Adam dan Hawa beranak pinak sehingga dalam rentang jutaan tahun sampailah pada bentuk manusia modern, seperti kita ini, generasi kita. Jika setiap manusia di bumi ini dianugerahi ingatan terhadap masalalu dan leluhur yang satu, maka tak akan ada perang di dunia. Ya, no war in the world! Sebab kita semua adalah saudara.”
Claire mengakhiri essay yang dibacanya untuk perpisahan. Ia turun dari podium dengan langkah tegak dan bahu yang kokoh. Sinar matanya selalu hangat dan ramah saat memandang setiap orang, kecuali padaku. Oh, Claire…. Bukankah kau selalu menyerukan agar semua manusia di muka bumi ini berdamai. Tak perlu ada perang yang memakan banyak korban? Lantas kenapa kau menyatakan perang terhadapku, Claire?
Claire kembali duduk di bangkunya. Berdasarkan essay Claire, dosen menerangkan bahwa di dalam perang, korban terbesar adalah anak-anak dan perempuan. Anak-anak kekurangan gizi, kasih sayang, dan pendidikan. Sedangkan para perempuan diperkosa dan dilecehkan. Dosen berharap agar generasi kami menjadi generasi yang cinta damai dan bukan bar-bar.


Claire adalah salah satu korban perang antara suku Hutu dan Tutsi di Rwanda. Tragedi Rwanda 1994 telah membuatnya yatim piatu. Saat itu usianya enam tahun. Ia sedang bermain-main di antara pohon pisang dan tiba-tiba terdengar bunyi “ BUUMM ” yang dahsyat. Pohon-pohon pisang bergetar. Saat ia menoleh, rumahnya terbakar, Claire tidak bisa bergerak, orang-orang Hutu mengepung rumah. Setelah duapuluh menit, rumahnya jadi hitam dan rata dengan tanah. Ayah ibunya, kakek neneknya terjebak dan turut jadi abu.
Aku tidak tahu bagaimana cerita hingga akhirnya Claire sampai di kamp pengungsian. Di Rwanda terjadi baku tembak selama 100 hari. Pemusnahan suku Tutsi. Di kamp itulah Claire bertemu Clementie. Mereka bersahabat menghadapi kejamnya permusuhan. Dosa sejarah. Kesenjangan. Orang-orang Hutu yang jumlahnya mayoritas merasa tersingkirkan dan diperlakukan secara tidak adil oleh penguasa kolonial hanya karena warna kulit mereka lebih legam dan warna kulit orang Tutsi lebih terang. Lalu setelah merdeka, setiap penduduk memegang Kartu Tanda Penduduk, di sana tertulis suku Hutu atau suku Tutsi. Dan itu hanyalah semacam pertanda. Jika di Kartu Tanda Penduduk tertera Tutsi, maka kartu itu bukan tanda penduduk melainkan tanda kematian. Beruntung waktu itu Claire dan Clementie belum memegang kartu identitas tersebut. Beruntung lagi, ketika Clementie diambil bibinya ke Amerika, Claire ikut serta.
Saat ini Claire dan Clementie sedang dalam program student exchange. Mereka memilih Indonesia dengan alasan dalam dasa warsa terakhir di Indonesia terjadi banyak kerusuhan. Mereka bertujuan mengkampanyekan perdamaian. Tapi ironisnya, Claire tidak berdamai denganku. Aku bertugas menjadi mitranya ketika ia sampai di Indonesia. Mitra Clementie adalah Aryo. Mereka selalu bertiga. Aku cemburu, sebab seharusnya aku berada di dalamnya. Mungkin jatuh cinta pada Claire memang suatu kesalahan. Tapi benarkah kesalahan jika leluhur manusia dulu saling berjabat tangan, mengasihi, dan beranak pinak?
Dosen mengakhiri kuliah. Claire, Clementie, dan Aryo menuju perpustakaan. Aku mengikuti. Dulu Aryo kaget ketika ku utarakan aku jatuh cinta pada Claire.
“ Yang bener, Bung, selera cewekmu seperti itu?” katanya kaget
“ Kenapa? Apartheid sudah basi” balasku
“ Teorinya, ” cibirnya tak percaya, “Sampai kapanpun diskriminasi gak akan bisa dihapus dari muka bumi. Aku sebenarnya tidak setuju dengan konsep perdamaian mereka. Cuma gara-gara lancar bahasa Inggris saja aku bisa jadi mitra” lanjutnya
“ Jadi kamu menghalalkan anak-anak dan perempuan jadi korban?” protesku
“ Bukan begitu, Bung. Hanya saja, kalau dunia damai, aman, tentram, tak ada konflik, hidup jadi mandeg. Percaya deh, dalam kondisi seperti di surga manusia tidak berkembang”
Aku menggeleng tidak setuju meskipun aku menerima konsep kesetimbangan. Ada damai tentu ada perang, seperti ada laki-laki dan perempuan, kehidupan dan kematian. Tuhan sudah sangat adil. Lalu mengapa mesti ada Claire dan Clementie di sini? Menyebar damai dan aku menuai badai.
Setelah Aryo tahu perasaanku, ia seringkali mengejekku.
“ Bagaimana Si Bibir Seksi mu? “
“ Bagaimana Si Hitam Manis mu? “
“ Bagaimana Si Sintal yang keriting itu? “
“ Bagaimana Si ‘Tutsi Hot’ mu itu? “
Begitulah hinaan Aryo, dan untuk yang terakhir aku balas dengan tonjokan keras pada wajahnya.
Claire dan Clementie menuduh aku bersalah karena menggunakan kekerasan. Sangat bertolak belakang dengan konsep perdamaian mereka. Sungguh, seandainya mereka tahu mengapa aku harus menonjok Aryo sekeras itu. Mereka kemudian menjauhiku. Ketika kuputuskan menyatakan perasaanku pada Claire, aku berharap Claire luluh dan melupakan kejadian itu. Yang terjadi justru sebaliknya. Claire memusuhiku.
Di perpustakaan mereka berdiskusi tentang pertikaian antara Hamas dan Fatah. Semestinya dua kubu tersebut menyadari bahwa mereka hanya semacam proxi atau kepanjangan tangan dari kekuatan-kekuatan yang lebih besar di belakang mereka. Hamas oleh suriah- Iran, Fatah oleh Amerika, Israel, Mesir ,dan Arab. Juga pertikaian di Poso, Indonesia, juga pembantaian orang-orang Bosnia oleh Serbia. Claire menunjukkan fakta-fakta tragedy tersebut. Juga dalam seratus hari keparat itu di Rwanda. Seorang wanita hamil dibacok. Janinnya diambil, lantas orok itu dibuang ke parit seperti membuang kulit kacang. Ketika berbicara, Claire menitikkan air mata. Buru-buru ia menyekanya.
“ Kita harus menjadi orang kuat. Lebih kuat dari perang itu sendiri.” Katanya. Clementie memeluknya. Ia mencoba menghibur,
“ Ingat Wusu? Siberia cilik yang harus kehilangan kaki karena bom-bom perang yang nyasar ke rumahnya? Dia sepuluh tahun, namun tegar dan berniat melanjutkan sekolah meskipun dengan kursi roda.”


“ Ya,” Claire menyahut, “ Aku merasa beruntung meskipun yatim piatu. Berkat kau Clementie. Mungkin Tuhan menakdirkan aku untuk tetap hidup guna menyuarakan perdamaian mewakili mereka yang terbungkam atau dibungkam. Amerika harus bisa menyudahi semua ini.”
Claire memang menemukan kemerdekaannya di Amerika.Tapi apa ia tahu bahwa sebagian penduduk dunia menganggap Amerika sebagai pembantai itu sendiri. Seharusnya Claire tidak mengesampingkan demo-demo menolak Amerika. Seharusnya dia juga ingat pidato Presiden Hugo Chaves di hadapan PBB beberapa waktu lalu. Namun aku juga bisa memahami, jika bukan karena Amerika mungkin Claire hanya tinggal nama.
Berada di antara kemesraan dan ikatan emosi yang begitu kuat pada dua perempuan itu, Aryo tampak dungu. Melompong tanpa kontribusi. Kuberanikan diri menghampiri mereka. Lebih baik sehari jadi harimau daripada jadi kucing sampai akhir hayat. Aku sudah bosan memata-matai, meratapi Claire, dan memupuk kebencian terhadap Aryo. Lagi pula, besok mereka meninggalkan Indonesia. Semua memang harus tuntas hari ini.
“ Hai…” aku menyapa. Clementie menyambutku ramah, tidak demikian halnya dengan Claire dan Aryo.
“ Bolehkah aku bergabung? “
“ Of course, why not, dengan senang hati! “ ujar Clementie. Claire dan Aryo tidak berubah. Diskusi berlanjut, aku turut bicara. Kuutarakan pandangan-pandangan Aryo tentang pentingnya konflik bagi kehidupan. Reaksi Aryo, beringsut seperti siput yang menarik diri ke dalam cangkangnya.
“ Excusme, jadi kau berpikir bahwa perang adalah kebenaran? “ Claire geram. Matanya tajam menusuk ulu hatiku. Aku berusaha tenang, kukatakan,
“ Jika dunia damai, hidup mandeg dan tak berkembang.”
Claire benar-benar marah. Ditariknya tanganku ke suatu sudut.
“ What do you want? “ Claire menantang. Meskipun berbisik karena di perpustakaan, suaranya nyaring kudengar.
“ Semua itu pikiran Aryo.”
“ Kau kira aku tidak tahu? Aku tahu pendapatmu yang sebenarnya, bahwa tak boleh lagi ada korban perang, penindasan, kekejaman, holocaust, apapun. Aku hargai itu, tapi aku tidak suka devide et impera mu pada aku, Clementie, dan Aryo. Tell me why? “
“ Aku mencintaimu! “
Claire diam sesaat,
“ Sudah pernah kubilang lupakan itu. Forget it!! “ tandasnya.
“ Why? “
“ Because Clementie jatuh cinta padamu.”
Aku terbelalak. Sesaat kami terdiam. Claire kemudian melanjutkan,
“ Aku banyak berhutang budi pada Clementie dan aku tidak mau menimbulkan peperangan dengannya karena dirimu.You know, kau tidak perlu memiliki diriku. Jika kau berjuang dalam keyakinanmu, menyerukan perdamaian, maka aku akan tumbuh dan hidup di sana. “ Claire menunjuk dadaku. Aku tertegun. Oh, Claire ku! Bukan hanya perang yang memakan korban, ternyata perdamaian pun butuh pengorbanan.
*****
Pukul satu siang aku turut mengantar Claire dan Clementie ke Bandara. Clementie berpamitan, mencium pipi dan bibirku. Pada Aryo dia hanya mencium pipi saja.
“ I love you! “ katanya, riang dan sedih. Kusambut dengan senyum sewajarnya.
Claire tidak mencium Aryo, hanya memeluk sebentar saja, lalu memandang redup padaku.
“ Berdamailah dengan Aryo untukku, seperti aku akan berdamai dengan perasaanku sendiri untukmu.” Katanya, lalu mencium keningku. Aku memeluknya. Erat. Kulepaskan ketika kutangkap pandangan Clementie yang aneh. Ku kecup kening Claire dan ia pun pergi. Mereka pergi. Melambaikan tangan. Claire dan Clementie terbang menuju cakrawala.
“ Sudahlah, Bung, tak perlu melodramatic seperti itu! “ teriak Aryo. Aku lantas mengikutinya keluar Bandara. Membawa hati Claire yang hidup dan tumbuh di dadaku. Perpisahan ini kuanggap pengorbanan untuk perdamaianmu.
“ I love you, Claire!” ucapku pada langit.

(29 Januari 2007)

Tidak ada komentar: