Minggu, 30 November 2008

WIRLEY DAN MIJENI
Oleh:Dwiha

Komputer masih menyala. Tulisan di dalam layarnya juga belum dirampungkan. Wirley sudah terpekur di kursinya. Lelap karena lelah yang luar biasa. Ia tertidur dengan posisi duduk yang bisa membuat tubuh pegel-pegel ketika menyadarinya. Raut muka Wirley tampak tegang tapi matanya sudah terkatup rapat. Tubuhnya tidak bergerak sama sekali. Ia seperti berubah menjadi patung.
Sementara istrinya hanya termangu di depan pintu kamar tidur. Terharu menyaksikan suaminya yang giat bekerja sampai larut. Istri-istri selain dia tentu akan mengeluh kurang perhatian atau justru cemburu pada pekerjaan suami yang sebenarnya adalah sumber nafkah bagi dirinya sendiri. Berbeda dengan Mijeni, istri Wirley, ia seorang jawa tulen yang masih memiliki sikap narimo ing pandum ( menerima dengan ikhlas apa yang ia dapatkan ). Wirley yang perantauan itu seringkali merasa bangga dengan sikap narimo istrinya. Mijeni tak pernah mengeluh atau bahkan menuntut tentang uang belanja harian yang tak mencukupi, tentang pekerjaan Wirley yang belum mapan, juga tentang kesepian tak berujung karena malam-malam Wirley yang berakhir di meja komputer. Namun, seringkali pula ia merasa kecut dan kerdil di hadapan istrinya. Wirley menyadari bahwa dirinya tak becus menjadi kepala rumah tangga, perekonomian keluarga yang belum membaik, juga sikap lemah lembut Mijeni yang tahan pada penderitaan. Kadang Wirley merasa kasihan pada istrinya itu, kadang ia merasa beruntung memperistri Mijeni, kadang ia juga menyumpah mengapa Mijeni begitu bodoh bersedia bersuamikan dia.
Mijeni tak berani mengganggu suaminya meskipun hanya untuk membangunkan dan mengajaknya pindah ke kamar tidur. Akhirnya perempuan itu mengambil selimut dan menyelimuti tubuh suaminya yang terpaku di kursi meja kerjanya. Suaminya, Wirley, adalah tukang ketik sebuah rental komputer milik seorang teman. Honor yang ia terima tidak tentu dan itu masih harus dikurangi anggaran sewa komputer tiap bulan. Kadang-kadang Wirley menulis puisi, cerpen, atau opini untuk surat kabar, tapi tentu saja Mijeni menyadari sepenuh hati bahwa surat kabar-surat kabar itu belum tentu memuat tulisan suaminya. Lagipula ia tahu betul perwatakan suaminya. Wirley tahu apa yang benar, namun ia tidak begitu yakin apa yang dianggapnya benar adalah kebenaran. Itulah mengapa Wirley tidak lihai di media.
Mijeni tidur sendirian di dalam kamar setelah mematikan komputer. Ia membiarkan pintu kamar terbuka sehingga suaminya bisa masuk kapan saja seandainya tiba-tiba terbangun. Beberapa waktu lamanya mata Mijeni belum juga bisa terpejam. Pikirannya melayang pada lumbung beras yang kian menipis isinya. Beras melangit harganya. Mijeni tak pernah bisa mengerti tapi selalu bisa memaklumi tentang harga beras. Wirley suaminya pernah menjelaskan perihal hasil diskusinya dengan beberapa kawan tentang beras, tetapi Mijeni tetap tak bisa memahaminya.
Dari diskusi itu Wirley menjelaskan padanya bahwa beras saat ini bukan lagi lambang pangan dan kemakmuran tetapi sudah bergeser menjadi lambang politik dan kekuasaan. Beras adalah politik. Rakyat didoktrin sedemikian rupa dengan idealisme makan nasi, bahwa nasi adalah makanan pokok yang apabila tidak makan nasi perut tak akan bisa kenyang meskipun telah makan sekarung ketela ataupun segepok roti. Beras menjadi dewa dan uang lah panglimanya. Uang bisa dipakai untuk membeli beras, beras adalah dewa, dan dewa adalah kekuasaan.
Awal tahun ini harga beras melambung tinggi. Stock beras dikhawatirkan tidak mencukupi. Pemerintah mengimpor beras dari Vietnam. Padahal berita di radio menyebutkan bahwa Departemen Pertanian memberi laporan produksi beras surplus sekian ton. Lalu mengapa harus impor beras? Mengapa harga beras begitu tinggi? Mengapa pula harus makan beras?
Mijeni tak mampu memecahkan teka-teki serumit itu. Ia hanya tahu suaminya mudah merasa lapar dan ia harus menyiapkan makanan. Ia sendiri selalu makan dengan porsi yang sedikit. Mijeni membawa perkara itu ke dalam tidurnya. Ia bermimpi menjelma Dewi Sri yang menangis menyaksikan para petani padi tidak makan nasi dari beras hasil jerih payahnya. Daripada beras dibikin nasi mending dijual buat beli pupuk. Petani menerima dengan ikhlas makan umbi agar pemerintah tidak khawatir cadangan makanan pokok habis, atau agar produksi beras surplus dan bisa diekspor.
“ Mijeni!!!”
Mijeni terbangun oleh teriakan Wirley dari luar kamar. Tergesa-gesa ia menghampiri suaminya.
“ Siapa yang mematikan komputer?”tanya Wirley.
“ Aku mencabut stop kontaknya.” Mijeni menjawab gugup.
“ Tulisan di dalamnya berharga ratusan ribu, aku belum menyimpannya, dan kau mematikan komputernya.” Wirley geram. Mijeni sangat merasa bersalah seakan-akan ia telah menghilangkan harta benda suaminya.
“ Maafkan aku!” Mijeni mengiba.
“ Maaf ? Otakku terbatas dan kau seenaknya minta maaf ? Naskah itu seharga ratusan ribu.” Wirley putus asa, “ Ini salahmu!”tuduhnya, “ Aku tak bisa menggajimu seminggu ini.” Lanjutnya
Mijeni diam seribu bahasa. Ia teringat lumbung berasnya yang menipis dan suaminya yang doyan makan. Muncul berbagai pertanyaan dan ketakutan. Bagaimana ia akan mendapatkan beras? Bagaimana kalau suaminya itu kelaparan? Beras sama sekali bukan masalahnya karena perutnya yang tipis itu bisa kenyang dengan sepotong roti seharga lima ratus rupiah. Beras adalah masalah suaminya. Bagaimana suaminya bisa bertahan hidup tanpa beras?
Setelah beberapa hari lumbung beras Mijeni benar-benar kosong. Wirley tak mau tahu dan terus menerus menyiksa perasaan Mijeni dengan rasa laparnya. Cacing-cacing dalam perut Wirley sudah pada demonstrasi sehingga membuat perutnya perih melilit. Sekali lagi Mijeni terharu oleh ketidakberdayaan suaminya melawan nafsu makannya sendiri.
Mijeni lantas memberanikan diri untuk ngutang beras di toko Babah Liong. Babah Liong marah-marah dan tidak mengizinkan. Mijeni pulang ke rumah dengan rasa kecewa dan rasa bersalah yang berlipat-lipat. Ketika melihat wajah tak berdaya suaminya, terbersit keinginannya untuk mencuri beras saat Babah Liong tidak ada di toko. Maka terjadilah, pada waktu Babah Liong meninggalkan toko, hanya ada seorang penjaga, suasana sudah sepi, Mijeni bermaksud melaksanakan niatannya.
Mijeni mengendap-endap menuju gudang beras. Namun Mijeni bukan pencuri, jadi ia tak pandai mencuri. Ia ketakutan dan gugup. Tangannya gemetar saat menyentuh plastik-plastik beras Babah Liong. Mijeni kurang cekatan, beberapa kantong plastik beras terjatuh dan beras berceceran. Penjaga toko yang seorang itu memergoki, kontan Mijeni lari terbirit-birit. Penjaga toko berteriak kesetanan,
“ Maling…maling !!!”
Penjaga toko lari mengejar. Teriakannya membuat orang-orang di sekitar toko ikut mengejar. Sambil terus berlari seseorang bertanya pada penjaga toko,
“ Maling itu mencuri apa?”
“ Beras! Tadi ia di gudang beras.” Jawab penjaga toko.
“ Tapi dia tidak membawa apa-apa.” Seseorang berkata lagi.
“ Ia tetap harus ditangkap untuk mengetahui motifnya berada di gudang beras, mungkin saja ia menaruh bom.” Penjaga toko berprasangka.
“ Kau yakin ia membawa bom?”
“ Tentu!”
“ Kau benar-benar yakin?” desak seseorang itu.
“ Bukankah segala hal mungkin.” ragu-ragu penjaga toko menjawab. Belum sempat seseorang itu bertanya lagi, terdengar letupan dari gudang beras Babah Liong. Gudang beras itu terbakar. Secepat kilat seseorang itu mengeluarkan pistol dari balik bajunya, berlari lebih cepat meninggalkan orang-orang dan penjaga toko yang ternyata bisa tertinggal jauh oleh Mijeni. Seseorang itu mengarahkan moncong pistol pada Mijeni.
Secara mengejutkan Mijeni merasai benda asing menembus bahunya meskipun ia sadar bahwa dengan cara apapun maut telah menjemput. Wajah Wirley melintas-lintas dalam pikirannya. Wirley yang kelaparan, Wirley yang tak berdaya, Wirley yang menyedihkan, Wirley yang malang, Wirley yang tersayang. Pandangan matanya yang kian buram kini menjadi benar-benar gelap. Mijeni roboh bersimbah darah.
Keesokan paginya Wirley membaca koran setempat yang memberitakan bahwa seorang perempuan berinisial Mj yang diduga kuat terkait jaringan teroris tewas ditembak polisi setelah meledakkan gudang beras Babah Liong. Kerugian yang diderita Babah Liong diperkirakan mencapai sekian ratus juta dan ditutup oleh pihak asuransi. Ia bergegas pulang ke rumah dari tempat rentalan untuk minum kopi dan menceritakan peristiwa tersebut pada Mijeni.
Selesai,31 Januari 2006

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Bagus cerpen nya ,terima kasih ,karena pr b.indoneaia saya adalah cerpen ini ,,izin bagi alamat link yah !