Minggu, 30 November 2008

Seperti pelangi yang hadir tanpa diawali hujan
Oleh: 'yang sedang menanti'

Untuk Asma di kota yang berkeringat?
Hujan di kota ini terus saja turun, Ma. Barangkali kau masih ingat kapan pertama kali kita berjumpa. Kau tentu ingat wajahku yang masih polos dulu. Saat itu pun hujan turun. Masihkah terbayang ekspresi wajahku ketika pertama aku jabat tanganmu erat-erat? Kita hanya sejenak saling pandang.
Dua tahun bukan waktu yang sebentar, bukan. Kau ingat? Janjimu kala itu terus saja membias luka hingga sekarang. Berhari-hari ku jalani hidup di sini dengan harapan kau kembali di sisi.Begitu banyak orang-orang yang hadir di kehidupanku. Berganti-ganti pula anganku tentangmu hadir di setiap jejak langkah yang aku lalui. Masih saja tentangmu, Ma. Kau tahu kenapa?
Kau tentu ingat ketika ku temui kau saat kepulanganmu yang kedua. Aku sudah sedikit dewasa. Aku tatap wajahmu lekat-lekat. Aku jabat tanganmu lebih erat. Aku bayangkan kau hadir sebagai malaikat. Aku seperti orang yang jatuh cinta saja rasanya. Sayang, kau tak jua mengerti kenapa aku masih menyimpan kenangan-kenanganmu..
Tahun kedua. Aku hubungi lagi nomor telfonmu yang aku simpan di ponselku. Ada balasan, tapi dari seorang wanita. Disuruhnya aku meninggalkan pesan. Aku tanyai siapa dia, dia jawab “tolong tinggalkan pesan seperlunya, nanti aku sampaikan pada Asma secepatnya”. Dia bilang lagi, “Aku kekasih Asma, kalau kau masih mencarinya, nanti aku sampaikan pada dia, dan aku tanyakan pula siapa kau sebenarnya. Jika perlu, aku yang akan mengalah untuk ini”.
Kenapa kau membuat scenario yang rumit seperti ini, Ma? Rasanya tak adil ketika aku yang harus melakoninya. Peran ini memang sulit untuk aku mainkan. Aku berada di bawah pelangi yang turun tanpa diawali hujan. Datang begitu saja. Dan hilang entah kapan.
Tahun keberapa aku lupa untuk menghitungnya. Kau hubungi aku dengar nomor baru. Kau bilang, “Maafkan aku, aku tak sempat menghubungi kawan-kawanku untuk beberapa waktu”. Aku Cuma balas, “Selamat ulang tahun ke 21, hanya itu. Aku tak berani ungkap apa-apa setelahnya.
Asma, kenapa pula kau datang dan hilang tanpa rencana? Bukankah kau tahu, melupakanmu adalah hal yang mustahil buatku. Meski hari berganti, dan berpuluh orang mengisi kehidupanku.
Tahun terakhir ingatanku tentangmu,kita tak jua saling bertemu.
Lebaran tahun ini sepertinya aku tak lagi sendiri. Malaikat itu datang menawarkan hatinya untukku. Mencari celahku, dan mencoba menggantikan posisimu kala itu. Tapi, tiba-tiba kau datang lagi, Ma. Kau ajak aku bertemu. Kau tahu, betapa aku takut bercampur haru.
Kau tentu ingat pertemuan setelah sekian waktu yang tak bisa ku hitung lagi jumlahnya. Masih sama. Hujan masih saja mengganggu kita, Ma. Hingga kita sulit mencari tempat untuk berteduh. Hujan memang tidak pernah pengertian kepada kita. Kenapa pula ia datang ketika ia tahu kita hanya mempunyai waktu yang tak seberapa.
Hari berlalu. Ku maafkan salahmu. Ku berikan sisa-sisa rasa yang dulu untuk kau miliki. Kenapa aku tinggalkan dia? Kau tentu telah tahu jawabannya. Aku memilih bersamamu? Tentu kau pula yang bisa merasakannya.
Bulan November. Hujan mulai turun, tapi tak terjadwal. kau hubungi aku lagi. Kau minta aku datang ke kotamu. Katamu. “Wisudaku besok, akan lebih bermakna ketika kau ada di sana”. Aku kau minta datang sedinirian. Ku tanya, apakah aku boleh bawa teman? Katamu, “jangan, nanti temanmu yang kasihan, bapak ibuku dan semua keluargaku akan datang ke sana. Kau akan ku kenalkan pada semua. Agar mereka tahu, aku sudah dapat seseorang yang nanti bisa menungguku sampai waktu yang tak terhingga”.
Ma, kenapa pula kau selalu memberiku sebuah harapan? Padahal kau tahu, aku paling tidak suka dengan harapan yang pupus di tengah jalan. Aku penuhi permintaanmu, meski dengan sedikit berat hati dan takut. Aku tinggalkan banyak janji yang telah aku buat dengan kawan-kawanku. Banyak yang tak berterima, kenapa pula aku masih saja menerima maafmu dan percaya pada kata-kata yang kau buat.
Tanggal 16 November, ma. Aku penuhi janjiku. Aku beranikan diri untuk tidak takut menghadapi scenario baru yang kau buat. Aku perankan tokoh yang mungkin sama dengan peranku dulu, tapi berbeda seting waktu dan suasananya. Kau memang sedikit berubah,Ma. Kau tampak dewasa dalam beberapa hal. Termasuk dalam membuatku tak takut denganmu, ada rasa nyaman ketika berada di dekatmu.
Hujan turun perlahan, tapi kemudian berhenti ketika ia tahu kita hanya bersama untuk waktu yang tak seberapa. Kau bilang, “malam ini hujan pengertian pada kita.” Ada rasa nyaman ketika bersamamu, Ma. Kau tampak dewasa dan bijaksana. Barangkali waktu yang mengajarimu seperti itu.. Andai saja, Ma. Andai saja, aku dan kau dapat memutar waktu kembali seperti dulu, tentu kita akan banyak belajar tentang banyak hal.
Malam semakin merambat. Kotamu yang berkeringat ternyata ikut menyelimuti keheningan. Kau ingat, Ma. Bersamamu berdua saja cukup membuatku takut. Tapi, bersamamu ada rasa nyaman. Kau bilang “tidurlah di sini, tak ada apa-apa. Nanti aku temani.”
Malam semakin merambat naik. Malam ini pula kau jadi tahu, kalau aku sangat menyukai sosok Soe Hok Gie. Iya, Ma. Aku amat mengagumi sosok Soe. Mahasiswa yang dulu bergelut dengan dunia politik dan pecinta alam itu amat cerdas dan menguasai keadaan negara. Ia amat idealis. Aku tertarik dengan pemikiran-pemikirannya. Tapi aku sendiri sebenarnya juga takut dengan sebuah idealisme, Ma. Kadang idealisme itu justru yang akan membunuh kita. Sayangnya malam itu kita tak sempat memperbincangkan arti sebuah idealisme dalam diri seseorang. Kenapa kita tidak diciptakan untuk menjadi lebih dekat dalam berpikir,Ma. Hingga apa yang yang terpikir olehku dan olehmu terkadang berbeda sekali arahnya. Kita tidak saling sejalan, kau ke utara aku ke selatan. Begitu tampaknya. Tapi aku hargai itu, Ma. Aku sadar, perbedaan memang harus ada. Dan itulah yang membuat sebuah kesempurnaan.
Tontonan selesai. Kita beranjak tidur. Kau rebahkan badanmu di atas tikar tanpa kasur. Terlihat nyaman. Aku rebahkan pula tubuhku di sampingmu. Lebih nyaman lagi ketika ku dengar desah nafasmu di sampingku. Aku seperti bermimpi saja ketika berada di sampingmu. Tiga tahun, Ma. Aku kau hantui dengan perasaan yang tak menentu. Dan kini hadirlah kau di dekatku, dalam jarak yang begitu dekat dan erat. Aku pasang telingaku lebar-lebar, berharap suatu saat kau mengigau atau tak tersadar ketika tidur. Tapi ternyata tidak, kau rebah begitu nyaman. Sebenarnya ingin ku habiskan malam itu untuk memandang seluruh wajahmu ketika tidur. Hanya untuk itu. Karena dengan begitu aku akan lebih bisa memaknai pertemuan kita yang tak lama ini. Karena aku hanya bisa mengabadikan kenangan lewat memori di hati, karena aku lebih suka menyimpan fotomu dalam pikiran dan bayanganku.
Pagi beranjak. Kau mulai bersiap untuk diwisuda pagi ini. Ada yang istimewa di hari itu,Ma. aku bisa mengenal saudara dan orang tuamu. Yang selalu ku ingat saat itu, ayahmu. Ia begitu bijaksana, ia begitu dewasa. Aku ingin kau sebijaksana dia nanti. Ada yang membuatku sakit hati, Ma. teman wanita yang kau perkenalkan padaku itu siapa? kenapa perasaanku tak enak ketika aku melihat kau dengannya. Aku benci dia, Ma. bukankah sudah kau bilang dulu, hanya akulah yang akan kau perkenalkan pada orang tuamu. Tapi ternyata dugaanku salah, Ma. aku benci saat itu. syukurlah aku bisa menjaga emosi kala itu.
Sore merambat. Sehari bersamamu tak terasa,Ma. Saat aku pamit pulang, sebenarnya ada tetes air mata yang mengalir. Tapi kau tak melihatnya. Hingga saat ku cium tanganmu, aku simpan air mata itu dalam-dalam. Adakah peristiwa yang lebih berharga setelah ini, pikirku.
Aku pulang dengan membawa perasaan yang mengharu biru, kau tahu, Ma. aku tak kuasa membendung air mata ketika ku tunaikan shalat lima waktuku. Aku tak mengerti misteri apa yang akan tuhan beri setelah peristiwa itu. Aku tangisi kisah ini. Ada permintaan yang tuhan kabulkan untukmu. Bertemu denganmu merupakan satu anugerah yang tak ternilai harganya. Apalagi hingga peristiwa itu terjadi.
Hatiku tak henti-hentinya bercerita dan berpikir apakah semua ini nyata? Hingga setelah pertemuan hari itu aku tak pernah mendengar lagi suaramu. Tak ku dengar lagi desah nafasmu. Kita kembali terpisah jarak dan waktu.
November. Desember. Januari. Februari. Maret. Hingga hampir April ini sudah berapa air mata yang aku tumpahkan karenamu, Ma? sudah terlalu banyak. Bahkan aku tak berani menghitungnya, apalagi yang harus aku ceritakan, ma? aku bercerita tentang kekecewaanku kepadamu sekarang justru akan membuat luka ini lebih melebar lagi. Aku tak berani lagi mengingat-ingat janjimu padaku tempo hari. Katamu, kita akan kembali lagi seperti dulu. Aku tak kuasa lagi mengingatnya. Tapi apalah dayaku, Ma. aku hanya perempuan biasa. Bisaku hanya menunggu dan menunggu. Yang pasti maafku tak kan habis jika ku berikan untukmu. Rasaku tak kan hilang meski ditelan waktu.
Waktu selalu berputar, Ma. Telah aku musnahkan kenangan yang sempat aku abadikan dalam sebuah bingkai kecil Telah ku ganti namamu dengan nama terburuk dalam ponselku, bahkan sempat aku hapus untuk beberapa waktu. Tapi kenapa selalu ada keinginan untuk berpulang padamu,Ma?
Aku tidak ingin mengiba, tapi kisah ini terlalu menyedihkan buatku. Bukan kuat yang aku dapat, tapi sebuah perasaan putus asa ketika aku membuka kembali kisah kita.
Waktu bergulir. Hanya ada penantian. Hanya ada harapan. Tangisan. Rintihan. Bahkan tawa, masih saja ada bayangmu di sana. Aku ingin bangun dan memulai kisah baru. tapi aku tak jua berani, Ma. Ingin aku kubur dalam-dalam semua kenangan, tapi aku tak jua mampu. Aku caci dirimu dengan perkataan yang amat menyakitkan, tapi itu tak jua bisa membuatku benci kepadamu. Aku ulangi lagi kenangan yang pernah terukir beberapa waktu lalu, tapi kenapa justru tangisku yang terpecah? Rasanya tak ada lagi ruang untuk bersembunyi darimu. Aku ini orang yang bodoh ya, Ma? aku bodoh karena tidak pandai mencari kesempatan lain dan mencari penggantimu. Bukan karena aku tak mau ma! tapi karena aku sendiri tak mampu. Aku benci ketika harus memulai kisah baru. jadi maaf, ma. jika sekarang ini aku masih saja berharap.
“Apakah engkau masih akan berkata
Ku dengar detak jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta”

Selesai
22 maret 2008

Tidak ada komentar: